Prinsip Ahlus Sunnah (Bagian 04)




6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan agama.
7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shollallahu ‘alihi wasallam.
Sebagai dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَمِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum : 31-32)

Dan firmannya pula :
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Mu’minun : 4)

Dan firmannya pula :
وَقَالُوا أَآلِهَتُنَا خَيْرٌ أَمْ هُوَ ۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf : 58)

Di dalam hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah sebelumnya berada diatas petunjuk melainkan mereka akan diberi perdebatan. Kemudian beliaushollallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat tersbeut.”( Hadits hasan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad (Lihat Shahil at-Targhib: 137)
Dan di dalam hadits yang lain shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya.” (HR. Al-Bukhari, no 4523 dan Muslim, no 2668)
Umar bin ‘Abdul Aziz berkata, “Barang siapa yang menjadikan agamanya sebagai tujuan untuk bermusuhan maka ia akan banyak berpindah-pindah (agama).” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi, 304 dan Al-Ajurri, Atsar:39 dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hasan (al-Basri) berkata kepada seseorang yang mendebatnya, “Adapun aku, maka aku telah mengetahui agamaku. Maka jika kamu telah menghilangkan agamamu, maka carilah.” (Hasan Lighairihi, Lihat Asy-Syari’ah (atsar: 241)
Ahmad bin abi al-Hawari berkata, “Telah mengatakan kepadaku ‘Abdullah bin al-Busri -ia tergolong orang-orang yang khusyu’-, “Sunnah menurut kami bukanlah sebatas kami membantah pengekor hawa nafsu dan bid’ah, akan tetapi sunnah menurut kami adalah kamu tidak mengajak bicara siapapun dari mereka.” (Lihat Al-Ibanah, 2/471)

Hanbal bin Ishaq berkata, Seseorang telah menulis surat kepada Abu ‘Abdillah -yakni ahmad bin hanbal- meminta izin darinya agar ia menyusun sebuah kitab yang menjelaskan bantahan terhadap ahli bid’ah, dan agar ia hadir bersama ahli kalam (mantiq) lalu berdiskusi dan berhujjah atas mereka. Maka Abu ‘Abdillah menulis balasan kepadanya, “Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, semoga Allah ta’ala memberimu akibat yang baik dan mencegah darimu segala hal yang dibenci dan diwaspadai. Sesungguhnya yang kami dengar dan ketahui dari para ulama yang kami jumpai, bahwa mereka membenci berbicara dengan dan memperdalam perbincangan dengan orang-orang yang sesat. Perkara yang ada hanyalah menyerahkan dan mengembalikannya kepada apa yang ada dalam kitab Allah ta’ala dan tidak melampauinya. Dan orang-orang senantiasa membenci setiap orang yang berbicara baik dengan menyusun kitab atau berduduk-duduk dengan ahli bid’ah untuk menjelaskan padanya tentang urusan agama yang samar baginya. Maka insyaAllah yang selamat adalah dengan meninggalkan duduk-duduk dan memperdalam pembicaraan bersama mereka dalam bid’ah-bid’ah dan kesesatan mereka. Hendaknya seseorang takut kepada Allah ta’ala dan kembali kepad hal-hal yang bermanfaat baginya di hari kemudian dengan berbuat amal sholih yang dipersembahkan untuk dirinya, dan janganlah ia tergolong orang-orang yang membuat perkara-perkara baru. Maka apabila ia keluar darinya, maka ia menginginkan hujjah baginya, lalu ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan mencari hujjah tatkala ia keluar darinya dengan sebab yang haq maupun bathil, dengan tujuan menghiasi bid’ah dan perkara baru yang ia adakan. Lebih parah lagi bila ia menempatkannya dalam sebuah kitab, lalu mengambil darinya, maka ia hendak menghiasi bid’ahnya dengan al-haq dan kebathilan, walaupun telah jelas baginya kebenaran itu ada pada selainnya.

Kami memohon kepada Allah taufiqNya bagi kita semua dan seluruh kaum muslimin. Dan semoga kesejahteraan selalu ada padamu.” (Al-Ibanah, 2/338)
Saya (Muhammad ‘Ied al-Abbasi, mu’alliq/komentator) berkata, “Ini adalah sikap Imam Ahmad yang berlebihan dalam mengingkari perkara-perkara baru. Karena sepengetahuan saya, pada hakikatnya apa yang telah ditetapkan dan diputuskan oleh para ulama islam setelahnya adalah diperbolehkan menyusun kitab, bahkan sebagian kitab wajib disusun. Hal ini termasuk maslahat mursalah untuk menjaga lima perkara yang wajib dijaga, yang paling pertama adalah agama.


Disadur dari Syarah Ushulus Sunnah Imam Ahmad oleh Syaikh Walid Muhammad Nubaih.

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini