Wanita Memandang Lelaki Bukan Mahram, Bolehkah?





Adalah sebuah permasalahan yang memiliki sudut pandang berbeda dari sebagian ulama, tentang bolehkah wanita memandang wajah lelaki yang bukan mahramnya.

Semoga dengan penjelasan ini, semakin menambah wawasan ilmu agama, dan mendidik kita untuk menggunakan diskusi ilmiah berdasarkan dalil dari Alquran dan Sunnah dengan aqwal (ucapan) ulama salaf sebagai bentuk adab kita di dalam beragama, wa billahi taufiq.

Di dalam hukum wanita memandang wajah lelaki yang bukan mahramnya, para ulama terbagi menjadi 2 (dua) pendapat yang masyhur. Pertama, haram secara mutlak dan kedua, boleh dengan perincian.

Pendapat pertama, diharamkan bagi seorang wanita memandang wajah lelaki, sebagaimana haram bagi lelaki memandang wajah wanita. Ini adalah pendapat yang shahih dari mazhab Syafi’iyyah, dan sebagian riwayat dari mazhab Malikiyyah.

Ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan ulama setelahnya. Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, "Dan yang shahih yang dipilih oleh jumhur sahabat dan ulama bahwasanya haram atas wanita memandang wajah ajnaby (lawan jenis) sebagaimana haram atas lelaki memandang wajah wanita. (lihat Syarah Muslim, Bab: al-Muthallaqah al-Bain).

Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, "Mayoritas ulama berpendapat haramnya wanita memandang wajah ajnaby (lawan jenis) apakah dengan syahwat atau bukan dengan syahwat. (lihat Majmu Fatawa, Bab: Min Faidah Ghadhul Bashar). Dan ini pendapat yang dipilih oleh al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya.

Argumen pendapat di atas. Pertama, Allah berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS: an-Nur: 31).

Sisi pendalilan, ayat di atas umum dalam larangan, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.

Kedua, Rasulullah pernah ditanya tentang pandangan pertama, beliau menjawab, "Jangan engkau ikuti pandangan pertama dengan kedua, karena yang pertama adalah milikmu sedangkan yang kedua bukan milikmu." (HR. Ahmad dan disahihkan oleh al-Albani).

Sisi pendalilan, hukum dalam hadis di atas umum, baik lelaki atau wanita, dan kaidah asal dalam syariat, adalah kesamaan hukum antara lelaki dan wanita.

Pendapat kedua, dibolehkan wanita melihat wajah lelaki yang bukan mahramnya dengan tiga syarat: (1) selain antara pusar dan kedua lututnya, (2) tidak dengan syahwat dan (3) aman dari fitnah.

Pendapat di atas dipilih oleh mayoritas mazhab Hanafiyyah dan satu riwayat dari Imam as-Syafi’i dan Ahmad, dan dari kalangan ulama mu’ashirin Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Bin Baz rahimahumallah.

Argumen pendapat kedua:

1. Hadis Aisyah radhiyallahu anha yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang kisah beliau yang melihat permainan orang Habasyah. Sisi pendalilannya adalah adanya izin dari Rasulullah untuk Aisyah melihat orang Habasyah bermain.

2. Hadis Fathimah binti Qais yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah menyuruh Fathimah binti Qais ber ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau mengatakan, "Beliau itu seorang yang buta, engkau bisa meletakkan sebagian bajumu disisinya." Sisi pendalilannya adalah izin dari Rasulullah untuk Fathimah binti Qais ber’iddah di rumah lelaki yang buta, yang tentunya akan melihat bagian dari lelaki tersebut.

Dan di sana beberapa dalil yang lain yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua, dan ini pendapat yang dipilih oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah.

Dari dua pendapat di atas, wallahu a’lam bishawab, kita bisa menarik beberapa kesimpulan:

1. Kedua pendapat di atas memiliki ulama dan argumen yang kuat, sehingga seseorang hendaknya mengambil mana yang dirinya bertanggungjawab di hadapan Allah.

2. Dari penjelasan argumen dua pendapat di atas, wallahu a’lam yang lebih kuat adalah pendapat pertama, dengan beberapa alasan:

 Pendapat di atas adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan setelah mereka sebagaimana dinukil oleh al-Imam an-Nawawi.

 Pendapat yang melarang secara mutlak lebih terjaga dan lebih aman dari terjatuh ke dalam kekeliruan. Al Imam as-Syathibi mengatakan, "Dan syariat dibangun di atas ikhtiyath (menjaga jaga) dan mengambil yang sudah jelas, serta menghindari dari sesuatu yang bisa menjerumuskan ke dalam kejelekan.

 Hadis Aisyah yang menunjukkan beliau melihat permainan orang Habasyah, telah dijawab oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah, beliau berkata, “ Dan hadis Aisyah tidak menunjukkan bahwa beliau melihat ke wajah lelaki dan badan mereka, namun yang dilihat adalah permainan mereka, dan tidak melazimkan bahwa Aisyah sengaja melihat badan sahabat tersebut, seandainya terlihat maka seketika juga dipalingkan. Dan itu juga adalah kejadian seketika serta tidak dinukil terjadinya pengulangan”. (lihat Syarah Muslim).

 Kisah Fathimah binti Qais, juga telah dijawab oleh al-Imam an-Nawawi, beliau berkata, “Adapun kisah Fathimah binti Qais, tidak menunjukkan izin Rasulullah terhadap beliau untuk melihat wajah Ibnu Ummi Maktum.”  

Dan pendapat haramnya secara mutlak adalah pendapat yang dipilih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah, beliau berkata, "Pandangan sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Habasyah adalah sesuatu yang dibolehkan untuk beliau dan selain beliau dari kalangan wanita, karena yang dipandang adalah permainannya bukan kepada orangnya. Seperti seorang wanita melihat sebuah pertempuran, tidak mungkin dirinya akan melihat secara fokus kepada wajah individu pasukan yang ada, maka dalam hal ini dibolehkan karena akan aman dari fitnah." (lihat ar-Radd Mufkhim karya al-Albani).

3. Sangat mudahnya seorang wanita mendapatkan ilmu agama tanpa harus melihat wajah sang guru, sehingga dia benar benar terjaga dari hal yang dikhawatirkan akan menjatuhkannya di dalam kemaksiatan.

Wallahu a’lam bishawab.

Ditulis oleh: Ustad Abu Abdillah Imam (Pengajar Musthalah Hadits di Ma`had As-Sunnah Aceh)


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini