Keimanan Rakyat Dukung Kekuatan Negara

Umat dalam arti bangsa di sebuah negara akan menjadi bangsa yang eksis bila paling tidak memiliki dua unsur pokok, yaitu pemimpin dengan segala perangkatnya, dan yang dipimpin dengan segala lapisannya. Dan unsur pemimpin harus ada bagaimanapun keadaannya.

Dikatakan oleh orang-orang terdahulu, meskipun pemimpinnya jahat dan memerintahkan selama enam puluh tahun dengan kejahatan, itu masih lebih baik daripada sehari hidup tanpa seorang pemimpin. (Ibnu Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar’iyah fi Islahi ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah).

Masing-masing pemimpin dan yang dipimpin, supaya umat atau bangsa dapat merasakan hidup aman dan sejahtera, harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

Dalam hal ini Allah telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing dengan firman-Nya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ : 58-59).

Menurut para Ulama, ayat pertama berkaitan dengan kewajiban pemimpin, yaitu harus menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila mengadili orang-orang yang dipimpin, harus mengadili dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkenaan dengan kewajiban orang-orang yang dipimpin, yaitu mereka harus mentaati perintah serta ketetapan pemimpin, selama perintah atau ketetapan itu bukan kemaksiatan. Apabila perintah atau ketetapan pemimpin adalah kemaksiatan, maka kemaksiatan itu tidak boleh ditaati. Jika mereka memperselisihkan sesuatu, maka harus dikembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Namun jika pemimpin tidak melaksanakan tugasnya dengan amanah dan tidak adil, maka umat tetap mentaati perintah pemimpin yang tidak berbentuk kemaksiatan. Sebab mentaati pemimpin termasuk ketaatan kepada Allah dan Rasu;-Nya. umat harus tetap menunaikan kewajiban mereka kepada pemimpin sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Selanjutnya, pada kondisi tertentu, suatu bangsa akan mengalami kendala-kendala internal. Kondisi ini secara umum menurut Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin –rahimahullah- terbagi menjadi 4 kondisi :

Pertama, kondisi prima, yaitu pada saat benteng keimanan umat (rakyat) serta ketahanan kekuasaan dalam keadaan kuat. Ini merupakan kondisi ideal. Sebab semuanya akan berjalan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.

Kedua, saat benteng keimanan umat serta ketahanan kekuasaan dalam keadaan lemah semuanya. Ini adalah kondisi paling parah dan paling berbahaya bagi bangsa; bagi pemimpin dan bagi umat yang dipimpin. Sebab jika hal itu terjadi maka kekacauan akan merajalela. Rakyat tidak memiliki keimanan hingga berbuat tanpa kendali syariat, sedangkan kekuasaan tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan tindakan rakyat.

Ketiga, pada saat benteng keimanan rakyat lemah, tetapi ketahanan kekuasaan dalam keadaan kuat. Ini merupakan kondisi pertengahan. Sebab bila ketahanan kekuasaan kuat, maka hal itu secara lahiriyah akan lebih baik bagi umat. Jika kekuatan kekuasaan hilang pada kondisi ini, maka umat akan terpuruk dalam instabilitas dan kejahatan.

Keempat, ketika ketahanan keimanan rakyat kuat, tetapi kekuatan kekuasaan dalam keadaan lemah, maka kondisi secara lahiriah lebih rendag daripada kondisi ketiga. Tetapi dalam hubungan antar seorang manusia dengan Allah, akan lebih baik dan lebih sempurna daripada kondisi ketiga. (Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, Syarah Tsalatsah al-Ushul).

Dengan demikian jika kondisi prima, paling ideal dan paling sempurna suatu bangsa tidak dapat dicapai secara utuh, maka tidak berarti mengabaikan sisi-sisi tertentu, misalnya membangun keimanan umat kepada Allah Ta’ala, supaya tindakan umat yang dipimpin dapat membantu terciptanya kondisi negeri yang aman.

Artinya, jika kondisi suatu negeri tidak memiliki wibawa penuh karena kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang yang kurang memiliki ketakwaan, maka paling tidak harus tercipta kondisi masyarakat yang beriman. Dan itu adalah tugas para da’i dan orang-orang ‘alim dalam ilmu-ilmu syar’i untuk membawa masyarakat kembali pada jalan Islam yang benar, mereka akan tetap berusaha menjaga kewibawaan para pengendali dan penguasa negeri, serta mentaatinya dalam hal-hal yang tidak menyimpangdari syariat. Masyarakat tidak berubut adu suara keras melakukan kritik-kritik bebas, baik melalui media cetak, media elektronik, situs-situs internet, unjuk rasa maupun mimbar-mimbar yang sebenarnya justru tidak banyak memecahkan masalah. Keimanan yang benar kepada Allah akan mencegah masyarakat melakukan tindakan yang kontra produktif.

Meskipun negeri tidak berada pada puncak Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur tetapi paling tidak, tetap tidak keluar dari lingkaran keamanan dan kesejahteraan, karena warganya adalah warga yang beriman, mengerti hak-hak serta kewajibannya dan tidak pernah menuntut apa yang bukan haknya. Tidak menjadi negeri yang penduduknya suka main hakim sendiri, tanpa sopan santun, tanpa syukur nikmat yang justru menyebabkan negeri menjadi makin kacau. Nas’alullaha at-Taufiq.

Disalin dari majalah as-Sunnah No.12/THN.XVI Jumadil ‘Awwal 1434 H/April 2013. Dari tulisan al-Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin –Hafizahulah-





Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini