Syarat Sahnya Niat Puasa Ramadhan


Niat akan dianggap sah manakala memenuhi 4 syarat berikut:
1. Kokohnya keyakinan/kepastian.
Yakni disyaratkan agar seseorang tidak ragu, bahkan apabila seseorang berniat pada malam hari syak (hari yang meragukan antara masuknya Ramadhan atau belum) untuk berpuasa keesokan harinya jika ternyata hari itu – memang – telah masuk Ramadhan, maka niat tersebut tidak dianggap sah. (Al Hidayah 2/248, Ar-Raudhah 2/353), dan Kasyaf Al Qana’ 2/315)

2. Menentukan niat.
Yakni menentukan niat puasa Ramadhan, puasa fardhu (wajib), dan tidak boleh menentukan puasa secara mutlak, juga tidak boleh menentukan puasa tertentu selain puasa Ramadhan, menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali Abu Hanifah. (Raudhah Ath-Thalibin 2/350, Bidayah Al Mujtahid 1/435, dan Al Mughni 3/22)

3. Berniat di malam hari.
Yaitu setelah tenggelamnya matahari hingga terbit fajar. Hal ini disyaratkan oleh madhzab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, sesuai hadits Ibnu Umar dan Hafshah RA, bahwa Nabi -shalallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah.”

Apakah disyaratkan niat di malam hari untuk puasa sunnah?
Dalam hadits diatas disebutkan, “Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah.”
Dari riwayat Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, dia berkata, “Pada suatu hari Nabi -shalallahu alaihi wa sallam- mendatangiku dan berkata,
هل عندكم شيء؟
“Apakah kalian mempunyai sesuatu (untuk dimakan)?”
Kami menjawab, “Tidak?” Maka beliau berkata,
فإني إذن صائم
“Jika demikian maka aku berpuasa.”
Kemudian pada suatu ketika pula kami mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kita diberi hadiah sebua hayis (jenis makanan dari kurma dan tepung).” Maka beliau bersabda,
أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ، فَأَكَلَ
“Berikanlah kepadaku, (padahal) sungguh pagi ini aku (berniat) berpuasa. Kemudian beliau memakannya.” (Shahih, HR Muslim 1451)
Niat puasa sunnah pada siang hari harus dilakukan sebelum tergelincirnya matahari (waktu Zhuhur), sebagian ulama yang lain membolehkan setelah tergelincirnya matahari.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah (Syarh Al Umdah 1/186) – setelah menyebutkan hadits Aisyah - , “Hal ini menunjukkan bahwa beliau niat berpuasa pada siang hari, karena beliau menyatakan, “..maka aku berpuasa”. Huruf faa’ pada hadits ini menunjukkan sebab dan illat (alasan). Maka kalimat tersebut berarti, “Aku berpuasa karena kalian saat ini tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan.”
Hal ini dapat dipahami bahwa kalau saja beliau berniat puasa dari malam hari, maka puasanya tidak lantaran illat tersebut. Juga perkataan beliau, “Jika demikian, maka aku berpuasa” menguatkan adanya sebab yang membuat beliau berpuasa pada hari itu.
Para ulama juga menguatkan bahwa penggunaan dalil semacam ini sesuai dengan pemahaman kalangan sahabat terhadap perilaku Nabi -shalallahu alaihi wa sallam-. Pembolehan niat puasa sunnah pada siang hari dibenarkan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Ayyub, Abu Darda’, Hudzaifah, dan Abu Thalhah, semoga Allah ta’ala meridhai mereka.
Adapun Malik, Al-Laits, Ibnu Hazm, dan diikuti oleh Asy-Syaukani sejalan dengan pendapat yang menguatkan, mereka lebih cenderung mendukung hadits Hafshah, dan tidak membedakan antara puasa sunnah dan puasa wajib dalam hal keharusan niat di malam hari.
Masing-masing pendapat di atas memiliki dalil yang kuat, dan mensyaratkan niat pada malam hari untuk puasa sunnah adalah sikap yang lebih hati-hati. Wallahu a’lam.

4. Memperbarui niat pada setiap malam Ramadhan.
Wajib hukumnya berniat puasa pada setiap malam di bulan Ramadhan –menurut pendapat mayortas ulama- dengan dalil keumuman hadits Hafshah terdahulu, dank arena setiap puasa yang dilakukan setiap hari bersifat “terpisah” dan tidak berkaitan antara satu dan yang lainnya serta tidak rusak/batal dengan batalnya puasa pada hari lainnya, dengan adanya pemisah antara masing-masing hari puasa di bulan Ramadhan (waktu berbuka dan memulai puasa). Namun malam-malam harinya sama, yaitu boleh melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan pada siang harinya. Maka ibadah ini menyerupai qadha ibadah, berbeda dengan ibadah haji dan keterkaitan antar rakaat dalam shalat. (Dur Al Mukhtar 2/87, Al Majmu’ 6/302, dan Kasyaf Al Qana’ 2/315)
Faidah:
Niat yang dijelaskan di atas dapat terealisasi dengan bangun pada malam hari untuk makan sahur, apalagi bagi mereka yang tidak biasa melakukannya pada selain bulan Ramadhan, karena niat adalah sebuah maksud dan kehendak untuk melakukan sesuatu, dengan hanya bangkit untuk makan sahur berarti telah terdapat sebuah maksud yang dianggap sah (sebagai niat puasa).Wallahu a’lam.

Rukun Puasa
Menahan segala sesuatu yang membatalkan dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Allahta’ala berfirman,
فالآن باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل
“Maka sekarang campurlah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlan puasa itu sampai(datang) malam…” (QS. Al-Baqarah[2]:187)
Allah ta’ala telah menghalalkan pada malam hari segala sesuatu yang membatalkan puasa, namun kemudian memerintahkan untuk menahannya (tidak melakukannya) pada siang hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa hakikat dan esensi puasa adalah al imsak(menahan). (Tuhfah Al Fuqaha’ 1/537 dan Bada’i Ash-Shana’id 2/90)
Sumber:
Shahih Fiqih Sunnah

Oleh:
Redaktur mukmin.net
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini