Beramal dengan Pendapat yang Lemah
Di antara
bentuk keluasan dalam agama ini adalah adanya pendapat-pendapat yang sifatnya
ijtihadiyah sehingga seorang muslim boleh memilih pendapat mana yang menurutnya
lebih kuat secara dalil maupun pendalilan. Namun bagi orang awam yang tidak
mampu menentukan pendapat mana yang paling kuat di antara para ulama, hendaknya
ia bertaqlid pada salah satu ulama yang ia percayai dan tidak memilah-milah
pendapat yang sesuai keinginannya saja.
Pendapat
yang kuat disebut juga sebagai rajih, dan pendapat yang lemah disebut dengan
marjuh. Sebagaimana disebutkan di atas, seorang muslim yang diberi akal dan
pengetahuan mesti memilih pendapat yang paling kuat, yang kemudian menjadi
pendapat yang rajih baginya. Ia tidak boleh sengaja memilih pendapat yang
menurutnya keliru/lemah (marjuh) dan meninggalkan pendapat yang baginya
benar/kuat (rajih).
Ibnu
'Utsaimin ditanya: Apakah boleh bagi seorang penuntut ilmu mengambil pendapat
yang lemah dalam beberapa masalah sedangkan ia mengetahui pendapat yang kuat?
Beliau menjawab: Tidak boleh baginya beramal dengan yang lemah, dan ia harus
beramal dengan pendapat yang kuat, jika jelas baginya bahwa pendapat itu kuat.
[Majmu' Fatawa wa Rasail 26/431]
Larangan
ini tidak hanya dalam masalah amal namun juga dalam masalah fatwa. Ibnul Qayyim
berkata:
ليحذر المفتي الذي يخاف مقامه بين يدي الله سبحانه؛ أن
يفتي السائل بمذهبه الذي يقلده وهو يعلم أن مذهب غيره في تلك المسألة أرجح من
مذهبه وأصح دليلًا؛ فيقتحم الفتوى بما يغلب على ظنه أن الصواب في خلافه؛ فيكون
خائنًا لله ورسوله وللسائل، وغاشّاً له؛ والله لا يهدي كيد الخائنين
Hendaklah seorang pemberi fatwa yang
takut akan kedudukannya di hadapan Allah untuk berhati-hati memberi fatwa
kepada seorang penanya dengan fatwa dari madzhab yang ia ikuti, sementara ia
mengetahui bahwa madzhab lain lebih kuat dalilnya dan lebih benar daripada
madzhabnya dalam masalah itu. Ia berfatwa dalam keadaan punya persangkaan kuat
bahwa yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan yang ia fatwakan,
maka saat itu ia telah menjadi seorang pengkhianat yang mengkhianati Allah dan
Rasul-Nya dan di hadapan penanya ia telah melakukan penipuan dalam urusan
agama. Sedangkan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada para pengkhianat.
[I'lamul Muwaqqi'in 4/177]
Namun demikian, beberapa ulama
memberikan beberapa pengecualian dimana pada saat-saat tertentu dibolehkan
mengambil pendapat yang marjuh dan meninggalkan yang rajih. Ibnu Taimiyah
berkata:
وقد يكون فعل المرجوح
أرجح للمصلحة الراجحة كما يكون ترك الراجح أرجح أحيانًا لمصلحة راجحة
Kadang beramal dengan yang marjuh, lebih
memberi manfaat yang kuat sebagaimana kadang meninggalkan pendapat yang rajih
memberi manfaat yang lebih besar. [Majmu' Fatawa 24/198]
Yaitu dalam masalah afdhal dan mafdhul,
atau perkara mana yang lebih utama daripada perkara yang lain. Dijelaskan dalam
halaman yang sama oleh beliau, misalnya jika seseorang yang merajihkan pendapat
tidak ada qunut dalam shalat, lalu ia mengimami kaum yang mengambil pendapat
sunnahnya qunut, maka ia berqunut. Begitu pula misalnya seseorang biasa
melirihkan basmalah sebelum Al Fatihah, mengimami kaum yang terbiasa dengan
jahr-nya basmalah, maka supaya melunakkan hati jamaah boleh baginya mengeraskan
basmalah. Atau juga pada masalah menyambung witir tiga rakaat sekaligus atau
memisahkannya menjadi dua rakaat dan satu rakaat. Dan semisalnya.
Dalam perkara afdhal-mafdhul, keduanya
sama-sama sah dilakukan. Secara hakikat tidak ada pertentangan, sehingga
diperbolehkan meninggalkan pendapat yang rajih untuk pendapat yang marjuh dalam
perkara tersebut dalam rangka mendatangkan mashlahat.
Sedangkan dalam masalah halal-haram dan
peradilan, perkaranya tidak sesederhana itu. Ibnu Rajab berkata:
وقد
ينزل القول الراجح المجتهد فيه إلى غيره من الأقوال المرجوحة إذا كان في الإفتاء
بالقول الراجح مفسدة
Seorang mujtahid bisa meninggalkan
pendapat yang rajih kepada pendapat-pendapat lainnya yang marjuh jika dengan
memfatwakan pendapat rajih akan menghasilkan kerusakan. [Al Istikhraj fi
Ahkamil Kharaj hal 89]
Ibnu Taimiyah berkata:
ولو
شرط الإمام على الحاكم، أو شرط الحاكم على خليفته؛ أن يحكم بمذهب معين بطل الشرط،
وفي فساد العقد وجهان
Seandainya imam/khalifah mensyaratkan kepada hakim
atau hakim memberikan syarat kepada khalifahnya untuk menghukumi dengan madzhab
tertentu, maka syarat tesebut batal. Sedangkan rusaknya akad, maka ada dua
pendapat.
ولا
ريب أن هذا إذا أمكن القضاة أن يحكموا بالعلم والعدل من غير هذا الشرط فعلوا، فأما
إذا قدر أن في الخروج عن ذلك من الفساد جهلًا وظلمًا، أعظم مما في التقدير؛ كان
ذلك من باب دفع أعظم الفسادين بالتزام أدناهما
Dan tidak diragukan lagi bahwa jika para
hakim memungkinkan untuk memutuskan dengan ilmu dan adil tanpa syarat ini, maka
hendaknya mereka lakukan. Sedangkan jika diperkirakan dengan keluar dari
kerusakan akibat kebodohan dan kezhaliman ini, dampaknya lebih berat daripada
perkiraan, maka itu termasuk dalam bab menolak kerusakan yang lebih besar di
antara dua kerusakan dengan memilih yang lebih rendah di antara keduanya.
[Majmu' Fatawa 31/73-74]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,
mengambil pendapat marjuh dalam hal afdhal-mafdhul diperbolehkan dalam meraih
mashlahat yang lebih besar. Sedangkan pada masalah fatwa, peradilan, dan
halal-haram, maka tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat, yang mana
jika kita mengambil pendapat yang rajih akan timbul kerusakan yang lebih besar.
Kami tutup tulisan ini dengan perkataan
Imam Al Qarafi:
إذا
رأينا من فعل شيئًا مختلفًا في تحريمه وتحليله وهو يعتقد تحريمه أنكرنا عليه؛ لأنه
منتهك الحرمة من جهة اعتقاده
Jika kami melihat seseorang melakukan
perbuatan yang diperselisihkan halal-haramnya, dan sebenarnya ia mengambil
keyakinan bahwa itu haram, maka kami mengingkari perbuatannya itu. Karena ia
telah melanggar keharaman disebabkan keyakinannya. [Al Furuq 4/437]
Wallahu a'lam.
Ditulis oleh
Al-Ustadz Ristiyan Ragil
Artikel mukmin.net
Post A Comment
No comments :