Pendahuluan yang Memikat dari Buku Sifat Shalat Nabi
Satu
atau dua dekade lalu, persebaran kitab Sifat
Shalat Nabi belum
seperti sekarang. Kini,
ia lebih mudah ditemukan di rumah-rumah
kaum Muslimin.
Menandakan bahwa
ia semakin tersebar di tengah-tengah kita. Buku ini menjelaskan dengan lengkap bagaimana
tata cara Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam salat dari takbir hingga salam,
dengan pembahasan yang belum pernah ada sebelumnya.
Karya
ilmiah berlimpah referensi ini ditulis oleh Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani
dan kali pertama diterbitkan
pada tahun 1401 H atau sekitar tahun 1980 M. Dalam bahasa aslinya berjudul Shifatu Shalat an-Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam: Min at-Takbir ila at-Taslim Ka 'Annaka Taraha.
Salah
satu edisi dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Darul
Haq berjudul Sifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam: Seakan-Akan Anda Menyaksikannya. Tulisan
ini berangkat dari versi tersebut.
Terkait dengan pentingnya salat, Syekh Albani (2017:
54) berkata, "Salat adalah salah
satu perkara terbesar yang dijelaskan oleh Rasulullah kepada manusia, baik melalui
perkataan maupun perbuatannya. Sampai-sampai beliau pernah salat di atas mimbar,
berdiri di atasnya dan rukuk, kemudian berkata kepada mereka, 'ini aku praktekkan agar kalian mengikutiku
dan mempelajari salatku ini.’"
Akan
tetapi, tulisan ini bukan bermaksud mengulas hal itu. Apa yang ingin disampaikan bukan mengenai isi buku,
melainkan tentang
mukadimah atau pendahuluan dari buku
tersebut, yang cukup memikat bagi penulis.
Bagian pembukaan
ini mengingatkan pada
buku Mukaddimah,
karya seorang ilmuwan Islam
terkemuka, Ibnu
Khaldun. Tulisan pengantar yang ditulis
dengan maksud sebagai pengantar buku, namun akhirnya lebih dikenal daripada buku
itu sendiri.
Ada begitu
banyak pelajaran penting dalam mukadimah
sepanjang 73 halaman ini—jika
dikembangkan, mungkin bisa menjadi buku tersendiri.
Selain berisi
pengantar agar pembaca dapat
memahami dengan baik apa yang terkandung di dalam
buku, juga
memuat perihal
berkaitan dengan sumber-sumber agama yang asli dan prinsip-prinsip
utama dalam beragama.
Terdiri
atas
matan (teks asli) dan syarah
(penjelasan) terhadap matan. Terbagi atas lima bagian, yaitu latar belakang, metode penulisan,
perkataan para imam mazhab agar mengikuti as-sunnah, para pengikut mazhab yang tidak mengikuti
pendapat imam mereka karena memilih untuk mengikuti as-sunnah,
dan ditutup
dengan sebuah pasal yang beliau katakan sangat penting, berjudul “Beberapa Syubhat
dan Jawabannya”. Berikut ini
beberapa pelajaran penting tersebut dari tiap-tiap bagian.
Bagian Pembuka
dan Latar Belakang Penulisan
Di
bagian ini syekh mengutip secara ringkas perkataan Imam an-Nawawi berkenaan dengan
kaidah dalam ilmu
hadis (hlm.
58—59).
"Para
ulama muhaqqiqin dari ahli hadits
dan lainnya mengatakan bahwa jika sebuah hadits berderajat dhaif (lemah), maka tidak dikatakan, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda’,
atau ‘beliau shallallahu alaihi wasallam telah melakukan begini’ atau ‘beliau memerintahkan begini’, ‘melarang begini’ dan lainnya yang disebutkan
dalam bentuk ungkapan memastikan (jazm),
tetapi dikatakan untuk yang seperti ini semua, ‘telah diriwayatkan dari,’ ‘dinukil dari,’ ‘diriwayatkan dari,’ dan redaksi serupa yang disebutkan
dalam ungkapan tamridh (tidak memastikan)….’’
Bagian Metode Penulisan Buku
Di bagian ini syekh mengutip
perkataan Abu al-Hasanat al-Laknawi yang menggambarkan kedudukan ahlul
hadits (hlm. 67).
“Siapa pun yang berpandangan
secara objektif dan menyelami samudra fikih dan ushul fikih, jauh dari
sikap arogan, pasti mengetahui secara pasti bahwa dalam kebanyakan masalah-masalahnya,
baik furu’iyah (cabang-cabang) maupun fundamental (pokok) yang
diperselisihkan para ulama, pendapat kalangan ahlus hadits lebih kuat
dari pandangan selain mereka….’’
Bagian Perkataan
Para Imam Madzhab agar Mengikuti as-Sunnah
dan Tidak Mengikuti Perkataan Mereka yang Menyelisihinya
Syekh
menyebutkan cukup banyak perkataan.
Setelah beliau berkata, ini pun sudah diringkas. Beberapa dari perkataan itu,
yang sepertinya tidak perlu dicari-cari lagi penafsirannya kecuali memang kita
sekadar
mencari-cari penafsiran, bukan kebenaran.
Pertama,
Imam Abu Hanifah rahimahullah, beliau berkata, "Jika aku
mengatakan suatu perkataan yang berseberangan dengan Kitabullah ta’ala dan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka
tinggalkanlah perkataanku (pendapatku) itu."
Kedua,
Imam Malik bin Anas rahimahullah, beliau
berkata, "Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, yang bisa salah dan bisa benar.
Karena itu, lihatlah pendapatku itu, setiap yang sesuai dengan Kitabullah
dan as-sunnah, maka ambillah, dan setiap
yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan as-sunnah, maka tinggalkanlah!"
Ketiga,
Imam asy-Syafi'i rahimahullah,
"Kaum Muslimin telah ber-ijma' bahwa siapa saja yang telah
jelas baginya sunnah
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, maka ia
tidak boleh meninggalkannya karena (mengikuti) perkataan seseorang."
Keempat,
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, "Janganlah
bertaklid kepadaku, kepada Imam Malik, Imam asy-Syafi'i, Imam al-Auza'i maupun
kepada Imam ats-Tsauri,
(tetapi) ambillah dari mana mereka mengambil."
Bagian Para
Pengikut Madzhab yang Tidak Mengikuti Pendapat Imam Mereka karena Mengikuti as-Sunnah
Di
sini syekh menyebut para pengikut mazhab yang tidak mengikuti pendapat imam
mereka karena mengikuti as-sunnah.
Bahkan, dua orang Imam, yaitu
Muhammad bin al-Hasan dan Abu Yusuf sampai-sampai menyelisihi pendapat guru
mereka berdua, yaitu Imam Abu Hanifah dalam hampir sepertiga pendapat mazhabnya
(hlm.
93).
Bagian Beberapa
Syubhat dan Jawabannya
Di sini syekh mengkritisi
salah satu hadis yang cukup terkenal, “Perselisihan pendapat yang terjadi di
tengah umatku adalah rahmat” (hlm. 100—101).
Beliau berkata bahwa hadis
itu tidak sahih karena dua alasan. Pertama, tidak ada sanad-nya baik
yang shahih, dhaif (lemah), maupun maudhu’ (palsu). Kedua,
bertentangan dengan Al-Qur’an.
Ayat-ayat yang berkaitan
dengan larangan berselisih dalam agama terlalu banyak untuk disebutkan. Di
antaranya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (Surah Rum:
31—32).
Allah subhanahu wa ta’ala
juga berfirman, “Tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali
orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (Surah Hud: 118—119).
Sebenarnya
seperti disinggung di atas, ada
banyak sekali faedah penting dalam
pendahuluan ini. Namun,
mengingat hari-hari
ini kita sedang
kebingungan karena dibanjiri
informasi dari berbagai penjuru, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari dan setelahnya,
maka masing-masing
satu saja dari setiap bagian tersebut yang
disampaikan, yang tampaknya masih cukup asing di tengah-tengah masyarakat
Muslim saat ini.
Oleh: Teuku Zulman Sangga Buana, bagian dari masyarakat Muslim.
Post A Comment
No comments :