“Wahabi” dan Hal-Hal yang Disalahpahami (Respon atas Ceramah Ustad Masrul Aidi)



Lewat konten yang tersebar di media sosial, video berdurasi 13 menit 48 detik menampilkan seorang da`i populer di Aceh, Ustad Masrul Aidi (UMA) bercerita banyak tentang "wahabi". Lewat pemaparan yang lumayan panjang itu, berbagai kerancuan atau mispersepsi tentang ahlussunnah-salafiyyun (yang mereka sebut wahabi) disebarkan.  

Ada banyak atau bahkan semua persepsi UMA tentang salafi perlu diluruskan. Namun kami coba memilih poin terpenting saja yang akan kami tanggapi,demi menyajikan informasi yang benar bagi publik. Biidznillah.
            
Di antara berbagai persepsi yang keliru tersebut, ada satu poin besar yang kami pikir penting untuk didahulukan pembahasannya, yakni polemik tentang slogan "kembali pada al-Quran dan sunnah" yang belakangan telah menyebar kesalahpahamannya atau disebar dengan pemahaman yang keliru.

Kembali pada al-Quran dan Sunnah adalah suatu kata atau slogan yang tidak bisa dipisahkan dari da’i salafi (ashlussunnah), atau yang dituduh "wahabi". Namun, apakah makna slogan tersebut yakni salafi bisa atau boleh menginterpretasikan al-Quran sendiri secara bebas, sehingga mereka tidak perlu mengikuti para salaf, para imam mazhab? Atau apakah setelah menghafal al-Quran dan beberapa hadits mereka dengan serta merta menjadi mujtahid mutlak?

Barangkali, ini yang akan kami jelaskan mula-mula sebagai refleksi awal dakwah salafi  (ahlussunnah) dan tuduhan-tuduhannya yang belakangan kian parah.

Perlu digarisbawahi bahwa, slogan kembali pada al-Quran dan Sunnah adalah slogan yang berbicara soal ushul, oleh karenanya, tidak sama sekali melazimkan untuk tidak mengikuti para imam atau para ulama.

Terlebih, ada yang kurang dari penukilan slogan tersebut. Bahwa slogan yang benarnya adalah "kembali pada al-Quran dan Sunnah di atas pemahaman para salafush shaleh". Walaupun demikian, sesekali terkadang terdengar dari mulut da’i-da’i salafi hanya kata "kembali pada al-Quran dan Sunnah". Maka, itu adalah hal yang maklum pada mereka dan dipahami seluruh jamaah, kecuali bagi mereka yang memang tidak mau tahu maksud yang benar dari esensi dakwah salafi (ahlussunnah).

Sehingga jelaslah, bahwa tidak sama sekali ada kelaziman-kelaziman sebagaimana yang disangka dalam slogan yang mulia ini, dan tidaklah salafi menginterpretasikan al-Quran dengan kepala mereka sendiriNamun yang mereka lakukan adalah ittiba’.

Kemudian, beranjak dari pendapat atau kajian beberapa ustadz salafi yang mengatakan bahwa bermazhab tidak wajib, UMA membangun opini bahwa salafi atau yang dituduh wahabi tidak bermazhab, dan dibandingkan dengan Imam Nawawi serta Imam al-Ghazali rahimahumallah bahwa mereka saja yang lebih berilmu bermazhab, sehingga kesimpulan tidak wajib bermazhab sangatlah keliru dan bodoh.

Maka hal ini dapat kita jawab, benar memang ada beberapa asatidzah salafi yang berkata bahwa bermazhab tidak wajib, namun tidak berhenti disini saja perkataan mereka, lanjutannya adalah "namun bermazhab itu baik". (lihat: http://bit.ly/302CpCl)

Dalam hal ini, kami melihat ada salah tafsir yang dilakukan oleh UMA dalam asumsinya tersebut. Sebab, ketika salafi mengatakan tidak wajib bermazhab maka tidak melazimkan bahwa salafi tidak bermazhab, hanya saja salafi berpandangan bahwa mengatakan sesuatu itu adalah wajib, butuh kepada dalilDan kita tidak mendapatkan dalil tersebut.

Agar dimengerti, para ulama (termasuk ulama salafi) cukup banyak yang bermazhab. Namun tanpa ta`ashub. Sebut saja Syaikh Abdurrahman as-Sa`di, salah satu ahli tafsir akbar abad ini. Beliau (rahimahullah) bermazhab Hanbali.  Namun dalam beberapa hal me-rajih-kan pendapat dari mazhab Syafi`i. Dan banyak contoh semisal dari ulama panutan salafiyyun lintas generasi.  

Maka asumsi yang sering disebarkan tentang salafi (sebagaimana UMA telah ikut menyebarkannya), bahwa salafi adalah anti-mazhab, adalah sama sekali tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya. Ada sebuah kaidah agung dalam khazanah ilmiah kita,
لازم القول ليس بقول

Bahwa kelaziman dari suatu perkataan(seseorang), bukanlah maksud dari perkataan (seseorangitu sendiri.

Artinya, ketika UMA melazimkan salafi tidak bermazhab karena ada statement tidak wajib bermazhab dari salah satu dai salafi, maka bukan berarti mereka tidak bermazhab atau bahkan disebut anti mazhab. Naudzubillah

Dalam ceramahnya juga, MA mengatakan bahwa "wahabi" hanya menerima qala Allah dan qala Rasul, dan mereka tidak menerima perkataan ulama.

Asumsi dari UMA ini amat disayangkan. Patut diduga UMA tidak pernah mengkaji literatur ulama dan da`i salafiyyun, yang semuanya didasari pada pemahaman para ulama lintas generasi terhadap nash syariat. Dan di antara prinsip sentral yang menjadi kekuatan pendalilan para da`i salafi adalah, 

إياك أن تتكلم في مسألة ليس لك فيها إمام

Berhati-hatilah engkau pada suatu pendapat tentang suatu masalah, yang tiada bagimu seorang imam pun yang mendahului.”

Perkataan Imam Ahmad itu, adalah prinsip yang dipegang teguh sebagai kaidah ilmiah oleh da`i salafi. Lalu bagimana mungkin kita dikatakan tidak merujuk pada ulama? Pada para imam?

Maka kita menantang siapa pun, termasuk MA untuk mendatangkan bukti, bahwa da`salafi tidak menerima perkataan ulamaDan tentunya akan didapati dari literatur-literatur mereka (salafiyang banyak, begitu disesaki oleh pendapat para ulamaHanya saja terkadang persoalannya, bukan mata yang buta tapi mata hati yang buta.

Wallahu a'lam.

Oleh: M. Haris Syahputra, Santri Pondok Studi Islam Mahasiswa (POSTIM) Banda Aceh. Di-muraja'ah dengan beberapa penyesuaian oleh redaktur mukmin.net.


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

1 comment :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini