Kezaliman Pemerintah dan Titik Temu dalam Menyikapinya



Umat Islam memiliki agama yang sempurna. Agama Islam telah menerangkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia,
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
Tidak ada sesuatu pun yang Kami abaikan penjelasannya di dalam al-Qur’an.” (QS. al-An’am [6]: 38)
Agama Islam telah disempurnakan oleh Allah dari berbagai sisi, baik dari sisi ibadah, akidah, manhaj, dan muamalah. Allah berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah [5]: 3) 
Seorang Yahudi pernah mendatangi dan bertanya pada salah satu sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang sebenarnya bertujuan untuk memperolok-olok dan merendahkan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ
(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja?”
Pertanyaan berupa olokan di atas dijawab oleh sahabat Nabi dengan jawaban yang tegas, lugas, dan tanpa merasa terhina sedikit pun, 
أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Ya. Sungguh dia telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar dan buang air kecil, ber-istinja’ dengan tangan kanan, ber-istinja’ dengan batu kurang dari tiga buah, atau ber-istinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim)
Perselisihan
Dalam Islam, jangankan perkara besar, yang kecil pun telah diterangkan. Sungguh pun demikian, begitu banyak perkara agama yang menjadi perselisihan di akhir zaman ini. 
Di antara perselisihan yang sering terjadi adalah persoalan bagaimana menyikapi penguasa yang zalim. Terjadi tidak hanya di meja-meja warung kopi, namun di atas mimbar-mimbar masjid. Melibatkan para ustad, dai, dan orang-orang yang ditokohkan dalam urusan agama. 
Menanggapi perkara ini, ada yang berpendapat bahwa boleh direspon dengan memberontak. Ada pula yang berpendapat tidak boleh memberontak tetapi boleh mencaci-maki secara terbuka dan tidak dibutuhkan ketaatan kepadanya. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pemberontakan kepada penguasa yang sah, tidak boleh mencelanya, tetapi menasihatinya adalah sebuah keharusan, dengan cara yang tidak terang-terangan. 
Cara menyikapi Perselisihan
Sikap seorang muslim ketika melihat perbedaan dan perselisihan seperti ini, pertama sekali ialah dengan kembali kepada kaedah umum yang telah disebutkan pada bagian awal ringkasan ini, yaitu mengingat dan memahami bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. 
Patokan kebenaran dan tindakan yang tepat bagi seorang muslim ketika terjadi perselisihan di antara umat Islam adalah sebagaimana Allah firmankan dalam surat an-Nisa ayat 59,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sebagai agama yang universal, pasti ada titik temu dalam Islam. Apabila ada sebuah kaedah yang dianggap dapat mempersatukan umat dalam perkara agama, tetapi titik temunya hanya untuk tingkat provinsi atau nasional, tentu saja itu prinsip yang keliru. Islam bersifat universal, bukan merupakan kekhususan atau keistimewaan suatu daerah tertentu.
Jika beralasan dengan beginilah adat istiadat di tempat ini dalam menyikapi penguasa. Maka orang dari daerah yang berbeda juga bisa berpendapat bahwa di tempatnya tidak demikian, maka tidak akan ada titik temunya. 
Mengembalikan perselisihan dan perbedaan pendapat kepada Alquran dan Sunah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan pemahaman para sahabatnya merupakan jalan keluar dan solusi terbaik. Nabi menyatakan,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim)
Adapun yang dimaksud dengan khulafaur rasyidun adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, tidak ada yang menanamkan keraguan dalam hal ini kecuali orang-orang Syi’ah atau orang-orang yang sudah ada bibit Syi’ah. 
Berikut ini beberapa hadis Nabi yang menerangkan bagaimana petunjuk beliau dalam menyikapi penguasa yang zalim.
Hadis yang pertama, diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar. Nabi bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.”
Maknanya, patuh bukan hanya pada keputusan pemerintah yang sesuai bagi kita. Dalam perkara yang tidak disukai sekali pun tetap harus taat. Kecuali dalam perkara kemaksiatan, tidak wajib mendengar dan tidak wajib untuk taat, tetapi bukan berarti boleh berontak. 
Hadis yang kedua, riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik, Nabi bersabda, 
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Dengar dan taatlah kalian, sekali pun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Ethiopia) yang berambut keriting seperti buah kismis.”
Artinya, apakah yang menjadi presiden ialah orang Aceh atau orang Jawa, ataukah Dayak sekali pun, selama dia muslim, walaupun bukan dari partai politik (parpol) yang diinginkan, tetap didengar dan ditaati. 
Hadis yang ketiga, dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih beliau pada judul Bab Wajibnya Mentaati Penguasa pada Perkara yang Bukan Maksiat nomor 1836 dari sahabat Abu Hurairah, Nabi bersabda, 
عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ
Hendaklah engkau dengar dan taat kepada pemimpinmu baik dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan mudah, baik dalam keadaan rela ataupun dalam keadaan tidak suka, dan saat ia lebih mengutamakan haknya daripada engkau.”
Hadis berikutnya lagi di dalam riwayat Imam Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman, Nabi bersabda,
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمِانِ إِنْسِ
Akan ada setelahku para penguasa yang tidak mau mengambil petunjukku dan tidak mau mengikuti Sunnah-ku, dan ada di tengah-tengah mereka pemimpin-pemimpin yang berhati setan berbadan manusia.”
Badannya saja seperti manusia, sedangkan hatinya hati setan. Redaksi dari hadis ini menggambarkan bagaimana berbahayanya pemerintah tersebut. Bukan sekadar pro kepada China, tetapi Nabi menyebut “berhati setan”.
Maka para sahabat bertanya,
كَيْفَ أَصْنَعُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟
Lalu apa yang harus diperbuat wahai Rasulullah jika kami mendapati masa itu?” 
Dalam riwayat Imam Muslim Nabi menyatakan,
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Engkau mendengar dan taat kepada pemimpin walau punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat.”
Sebagai contoh, Nabi di Mekkah selama 13 tahun, di depan matanya Ammar disiksa, Yasir disiksa, bahkan sahabiah, istrinya Yasir dan ibunda Ammar yang bernama Sumayyah dilecehkan oleh Abu Jahal. Tetapi Nabi hanya menyatakan,
اِصْبِرَا آلَ يَاسِرٍ ،فَإِنَّ مَوْعِدَكُمْ إِلَى الْجَنَّةِ
Bersabarlah wahai kelurga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” [Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, bab Mengenal Sahabat (III/383]
Andaikata Nabi memberontak dengan jumlah kaum muslimin yang cukup sedikit, maka tidak tertutup kemungkinan semuanya akan dihabisi, sehingga tidak akan ada lagi dakwah di Madinah, di Ethiopia dan yang di tempat lainnya. Padahal kalau Nabi berperang, malaikat akan turun. Umar pun sudah siap, namun Nabi ingin memberikan pendidikan ilmiah, melihat ujung (akibat)-nya.
Adab Menasihati Penguasa
Menasihati penguasa adalah sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh seseorang berprinsip untuk tidak menasihati penguasa. Tetapi bagaimana cara menasihati para penguasa sudah ada pedomannya.
Sebagai pembuka, menarik untuk mencermati apa yang ulama salaf katakan, “Enam puluh tahun dipimpin oleh pemimpin yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin” [Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah oleh Abdul Aziz ar-Rajihi (1:29) pada al-Maktabah asy-Syamilah]
Kemudian, ucapan Imam Ahmad yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Muflih dalam Adabusy Syar’iyah, di mana beliau berkata bahwa janganlah kalian berhadapan dengan penguasa (secara terang-terangan) dalam menasihatinya karena pedangnya penguasa itu selalu terhunus dan tongkatnya itu bahaya. 
Memang, ada sebagian ulama salaf yang menasihati penguasa secara terang-terangan, karena penguasa pada saat itu sangat memuliakan ulama, yang apabila ulama berbicara mereka langsung mendengarnya. Tetapi para ulama terdahulu menyatakan pandangannya secara baik-baik, bukan dengan celaan-celaan secara terang-terangan. 
Misalnya, Abu Sa’id al-Khudri pernah mendengar seorang penguasa yang ingin mengedepankan khotbah daripada salat Hari Raya dengan alasan kalau khotbah dilaksanakan seperti biasa (selepas shalat ied) jamaah pada pulang. Ditegur oleh Abu Sa’id, beliau mengingkari si penguasa secara terang-terangan tetapi beretika. 
Agar tidak disalahpahami maka perlu digarisbawahi, Abu Sa’id mengingkari dengan pengingkaran yang sifatnya menegur, “Sunah nabi tidak demikian. Janganlah Anda merubah Sunnah Nabi.” Beliau tidak menyumpah-serapah, tidak menggerakkan massa, tidak naik ke atas mimbar, tidak mengeposnya di media sosial, tetapi langsung di hadapan orangnya. Momennya pun karena tidak mungkin diakhirkan sebab salat akan dilaksanakan. 
Ada contoh yang lebih gamblang, juga dari Imam Ahmad. Diketahui bersama bahwa Imam Ahmad dipenjara selama empat periode kaerna beliau tidak mau menyatakan al-Qur’an sebagai makhluk. Pada masa Ma’mun, Mu’tashim,Wafiq dan Mutawakkil. Bahkan di dalam penjara, tulang-tulang punggung beliau dicambuk sampai patah. 
Sejarah mengabarkan, kaum Muslimin setiap harinya menunggu beliau di depan penjara dengan membawa satu pena dan satu kertas, menunggu perintah Imam Ahmad. Di zamannya Wafiq apabila Imam Ahmad menyatakan, “Iya!” maka hancur pemerintah! Karena Imam Ahmad merupakan tokoh global pada waktu itu.
Kaum muslimin pada saat itu adalah orang-orang yang pemberani dan benar-benar murni untuk menegakkan agama, tidak ada parpol maupun orgaisasi massa (ormas) kala itu. Namun demikian, Imam Ahmad memerintahkan mereka semuanya agar kembali, beliau tidak ingin gara-gara satu nyawa beliau, tumpah darah kaum Muslimin yang sekian banyaknya.
Jawaban Imam Ahmad menggambarkan sosok beliau yang sangat bijak Beliau menyatakan kepada para ulama yang menyatakan “Kami bermusyawarah kepadamu”, Saya tidak mau membuka pintu pertumpahan darah, karena kalau sudah terbuka tidak akan tertutup lagi, biarlah saya sendiri yang menjadi korban.”
Selanjutnya, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah-nya dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Nabi menyatakan,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلٰكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِـهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.” [Shahih, HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, No. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/ 403-404) dan al-Hakim (III/290) dari Iyadh bin Ghunm)
Nabi memerintahkan untuk mengambil tangan para penguasa dan kemudian menasihatinya secara pribadi. Dengan mengambil tangan Bapak Presiden, Bapak Kapolri, Bapak Panglima, Bapak Menteri, Bapak Gubernur dan seterusnya, lalu menyampaikan nasihat secara langsung. Jika diterima maka itu yang diinginkan, kalau tidak maka apa yang menjadi kewajiban sudah ditunaikan.
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍأَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sebaik-baik jihad adalah kalimat keadilan (mengungkapkan kebenaran) di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim.” (HR. Ibnu Majah No. 4011. Dinilai shahih oleh Syekh Albani)
Sebab itulah, ketika Usamah bin Zaid¬¬–sahabat Nabi–ditanya, “Mengapa Anda tidak pernah menasihati Ali?” Dijawab oleh beliau seperti ini, “Apakah setiap kali saya menasihati Ali, saya harus sampaikan kepada kalian bahwa saya sudah menasihati Ali?”.
Sebagai penutup, 
تعمدني بنصحك في انفرادي** وجنبْني النصيحة في الجماعهْ
فإن النصح بين الناس نوع** من التوبيخ لا أرضى استماعهْ
وإن خالفتني وعصيت قولي** فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ
Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri,
Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian
Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu
Pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku
Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti

(Diwaan Imam Syafi’i, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad Ibrahim Salim)
Imam Syafi’i yang seorang ulama besar, tidak siap apabila dinasihati terang-terangan, apalagi penguasa yang punya kekuatan, dimuliakan oleh banyak pihak, baik dari dalam maupun dari luar wilayah kekuasaannya. 
Persoalan menaati penguasa, tidak boleh mengkritik penguasa secara terang-terangan di muka umum dibahas oleh para ulama dalam bab akidah, bukan dalam kitab-kitab fikih. Bahkan yang menyelisihinya mereka namakan dengan kaum khawarij. Ini bukan khilafiyah, bahwa kemudian seseorang belum mampu meninggalkannya, itu persoalan yang berbeda. Adapun hukumnya, demikianlah.
(Disusun dari khotbah panjang Ustad Farhan Abu Furaihan)
Sumber: http://www.syiartauhidaceh.com/kezaliman-pemerintah-dan-titik-temu-dalam-menyikapinya/
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini