Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah (Bagian 1)




1. Berpegang teguh pada jalan hidup sahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.

2. Berdakwah (mengambil teladan) dari mereka.

(1) Sebagai dalil firman Allah subhanahu wata’ala

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S an-Nisa’ 115)

Dan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam :

Sesungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup (sesudah aku wafat) maka ia akan banyak melihat perselisihan. Maka wajib diatas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khilafah yang lurus. Gigitlah erat-erat dengan gigi gerahan kalian.” Hadits dari ‘Irbath bin Sariyah radhiallahu ‘anhu yang masyhur ( Shahih Sunan Abu Dawud, hadits 3851 )

Dan sabdanya pula dalam menjelaskan kelompok yang selamat,

“Yaitu, apa-apa yang hari ini aku dan sahabatku berada diatasnya”
Hadits ini derajatnya hasan atau shahih lighairihi ( Lihat takhrij saya terhadap buku Asy Syari’ah hal 16 cetakan baru )

Al-’iraqi berkata tentang derajat-derajatnya didalam Takhrijul Ihya’  juz IV, hal 1819, “sanad-sanadnya baik”. Dan hal itu diperkuat oleh syaikh kami, Al-Albani. (Lihat silsilah Ash-Shohihah (1/361), dan buku Raf’ul Irtiyaab ‘an haditsi maa ana ‘alaihi yauma waashabi, karya saudara kami yang mulia Salim al-Hilali)

Ibnu Mas’ud rahimahullah berkata, “Barang siapa diantara kamu ingin mengambil keteladanan, maka hendaknya dia mengambil keteladanan dari sahabat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam sebab mereka adalah orang yang hatinya baik, ilmunya mendalam, sedikit takalluf (memaksakan diri diluar batas kemampuan), memiliki petunjuk yang lurus, baik keadaannya. Mereka adalah suatu kaum yang Allah subhanahu wata’ala pilih untuk dijadikan sahabat NabiNya. Maka dari itu, ketahuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka sebab mereka berada diatas petunjuk yang lurus.” (Derajat riwayat ini, La ba’sa bihi", dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Bar didalam kitabnya, Jaami’ bayaanil ‘ilmi, 1810).

Ibnu ‘Aun rahimahullah berkata, “Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati seseorang yang komitmen dan merasa ridha dengan atsar ini walaupun terasa berat olehnya.” (Diriwayatkan oleh ibnu Baththah dan Al-Ibanha, 291 dan derajatnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim).

Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Seandainya para sahabat Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam membasuh kuku (dalam berwudhu) niscaya aku tidak akan mencucinya demi mencari keutamaan dalam berittiba’ kepada mereka.” (Shahih, diriwayatkan oleh ibnu Baththah 254, ad-Darimi dan selainnya).

Umar bin Abdul Aziz pernah berwasiat kepada sebagian pengawalnya, “Aku berwasiat kepadamu agar senantiasa bertaqwa kepada Allah dan berlaku sederhana dalam menjalankan perintahNya, mengikuti sunnah (tuntunan) Rasulullah  shollallahu ‘alaihi wasallam, meninggalkan perkara-perkara baru dalam agama yang diada-adakan oleh orang setelahnya, dan berhentilah pada batas-batas ajarannya. Dan ketahuilah, bahwa seseorang tidaklah berbuat bid’ah melainkan telah ada sebelumnya hal yang menunjukkan kebid’ahannya dan pelajaran buruk yang ditimbulkannya. Karena itu, kamu wajib berpegang teguh dengan As-Sunnah, sebab ia merupakan tameng dan pelindung (dari berbagai kesesatan dan kebinasaan) bagi dirimu dengan izin Allah subhanahu wata’ala. Dan ketahuilah, barang siapa yang berjalan diatas sunnah, maka sungguh dia telah mengetahui bahwa tindakan menyelisinya adalah termasuk kesalahan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan dan keduguan. Maka generasi terdahulu dari umat ini (Salafus Shaleh) telah berhenti dan menahan diri mereka dengan ilmu yang mapan (dari bid’ah-bid’ah) padahal mereka adalah orang-orang yang sangat sanggup membahas suatu masalah agama, akan tetapi mereka tidak membahasanya.” ( Shahih sunan abi Dawud, 4612 dan lihat juga Takhrij kitab Asy Syari’ah (atsar nomer 292)).

Imam al-Barbahari berkata, “Dan ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa keislaman seorang hamba tidaklah sempurna sampai ia menjadi orang yang senantiasa berittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam), membenarkan dan berserah diri. Maka barang siapa yang mengira bahwa masih ada suatu perkara islam yang belum disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada kita maka sungguh ia telah mendustakan mereka, dan hal itu cukup untuk dikatakan sebagai perpecahan dan tikaman terhadap mereka, dan dia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang sesat dan telah mengada-ngada perkara baru dalam agama islam.” (Syarhus Sunnah, hal.70).

Ia juga berkata, “Wajib atas kamu mengikuti atsar-atsar (jejak salafus shaleh) dan orang-orang yang berpegang teguh dengan atsar. Bertanyalah kepada mereka, duduk dan ambillah ilmu dari mereka.” (Syarhus Sunnah, hal.20). Barang siapa yang menghendaki penjelasan yang lebih dalam tentang hal ini, sialahkan merujuk pada kitab Al-I’tisham karya Asy-Syathibi, sebab kitab itu merupakan kitab yang agung, banyak mengandung manfaat dan faedah yang besar serta tidak ada kitab semisalnya yang disusun dalam bab ini. Lihat pula Ta’liq (komentar) Syaikh Al-Albani terhadap kitab Al-Aqidah Ath-Thohawiyah, hal. 48.


Disadur dari Syarah Ushulus Sunnah Imam Ahmad oleh Syaikh Walid Muhammad Nubaih.



Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini