Kapan Pelaku Bid`ah dikategorikan sebagai Ahlul Bid`ah?



Harus diperhatikan, bahwa tidak setiap orang yang berbuat Bid’ah kemudian dia disebut sebagai ahlul bid’ah -atau menurut istilah para ulama: ahlul bida’ wal ahwaa’ (para pengikut bid’ah dan hawa nafsu)-. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَـيـْنِ افْتَرَقُوْا فِـيْ دِيْـنِهِمْ عَلَى ثِـنْـتَيْـنِ وَسَبْعِـيْـنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هٰذِهِ الْأُمَّةَ سَتَـفْـتَـرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِـيْـنَ مِلَّةً -يَعْنِـيْ الْأَهْوَاءَ-، كُلُّهَا فِـي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْـجَمَاعَةُ [وَفِـيْ رِوَايَةٍ أُخْرَى: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ] وَإِنَّـهُ سَـيَـخْـرُجُ فِي أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ تَـجَارَى بِـهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلَبُ بِصَاحِبِهِ؛ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ...

“Sungguh dua Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah berpecah menjadi tujuh puluh dua agama, dan sungguh umat (Islam) ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga agama -yakni: hawa nafsu-hawa nafsu (bid’ah-bid’ah)  semuanya terancam neraka kecuali satu, yaitu: Al-Jamaa’ah. [Dalam riwayat lain:  “(Yang mengikuti) apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya.”] Dan sungguh akan ada kaum-kaum dari umatku yang ‘hawa nafsu – hawa nafsu tersebut’ masuk pada diri mereka sebagaimana penyakit anjing gila menjalar pada (tubuh) penderitanya, sampai tidak tersisa satu urat pun dan tidak juga satu persendian pun melainkan penyakit itu memasukinya…”[Shahih: HR. Ahmad (IV/102), dan lain-lain dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan -radhiyallaahu ‘anhumaa- dengan sanad yang hasan, dan ada beberapa penguat yang mengangkat hadits ini menjadi shahih. Dan riwayat lain adalah: Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan lain-lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr -radhiyallaahu ‘anhumaa-]

Allah -Subhaanahu wa Ta’aala- berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْـهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsu (keinginan)nya. Tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

 Allah -ta’aalaa- juga berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syari’at (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syari’at) itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu (keinginan) orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)

Allah -‘Azza wa Jalla- juga berfirman kepada Nabi Dawud -‘alaihis salaam-:

يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْـحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ...

“Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan ‘adil (kebenaran)’ dan janganlah engkau mengikuti ‘hawa nafsu’, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah…” (QS. Shaad: 26).

Dalam ayat-ayat ini -dan ayat-ayat yang lainnya- [Lihat: QS. Al-Kahfi: 28 dan QS. Al-Qashash: 50] Allah menghadapkan antara ‘mengikuti perintah-Nya’ dengan ‘mengikuti hawa nafsu’ -hanya ada dua pilihan dan tidak ada yang ketiga-, sehingga kita mengetahui bahwa setiap orang yang tidak mengikuti dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah; berarti dia mengikuti hawa nafsunya -sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut-. [Lihat: “I’laamul Muwaqqi’iin” (hlm. 42-cet. Daar Thayyibah) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- dan “Al-I’tishaam” (I/67-68-tahqiiq Syaikh Salim) karya Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah-] .

Maka pembahasan tentang ini dapat diuraikan dalam beberapa point berikut ini:

1. Bid’ah Yang Masyhur Penyelisihannya Terhadap Al-Qur’an & As-Sunnah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata: “Bid’ah yang pelakunya digolongkan kepada Ahlul Ahwaa’ (Ahlul Bid’ah) adalah: (Bid’ah) yang masyhur (terkenal) dikalangan  Ulama Sunnah (bahwa Bid’ah  itu) menyelisihi Al-Qur’an  dan As-Sunnah, seperti Bid’ah: Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Qadariyyah dan Murji’ah.”[“Majmuu’ul Fataawaa” (XXXV/414) milik Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah-]. 

Karena pelaku bid’ah yang bid’ah nya sudah masyhur menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah; sudah pasti bahwa orang itu melakukan bid’ah-nya dengan dorongan hawa nafsunya. [Lihat: “Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwaa’” (I/120), karya Syaikh Doktor Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili -hafizhahullaah-].

Dan ini selaras dengan penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah- dalam kitab beliau ini “Ushuulus Sunnah”, beliau berkata:  “Termasuk Sunnah yang harus (diikuti); di mana orang yang meninggalkan salah satunya, tidak menerimanya dan tidak beriman dengannnya maka dia bukan termasuk Ahlus Sunnah: ...”. Kemudian beliau menjelaskan Prinsip-Prinsip ‘Aqidah Ahlus Sunnah. 

2. “Kulliyyah” & “Juz-iyyah” Dalam Bid’ah

Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- berkata: “Bid’ah terbagi (dua, bid’ah yang) “kulliyyah” (sifatnya menyeluruh) dalam syari’at dan (bid’ah yang) “juz’iyyah” (sifatnya parsial/tidak menyeluruh).

Makna Bid’ah  yang menyeluruh adalah: kerusakan yang disebabkan oleh bid’ah  itu menyeluruh dalam syari’at; seperti bid’ah: menganggap baik dan buruk dengan akal, mengingkari hadits dan mencukupkan diri dengan al-Qur’an, bid’ah khawarij dalam perkataan mereka: "tidak ada hukum kecuali hukum Allah", dan yang semisalnya dari bid’ah-bid’ah  yang tidak khusus pada satu cabang dari cabang-cabang syari’at saja tanpa cabang yang lain, bahkan engkau dapati bid’ah  itu mencakup cabang-cabang yang tidak terbatas.

Atau kerusakan yang terjadi disebabkan bid’ah adalah “juz’i” (sifatnya parsial/tidak menyeluruh), cuma terjadi pada sebagian cabang tanpa cabang yang lain; seperti bid’ah “tatswiib” dalam shalat yang dikatakan oleh Imam Malik: “tatswiib” adalah sebuah kesesatan, bid’ah adzan dan iqamah dalam shalat dua hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Ad-ha), bid’ah bersandar dengan satu kaki dalam shalat, dan yang semisalnya. Maka pada bagian ini: bid’ah tidak mencakup yang lainnya, dan di bawahnya tidak ada cabang bid’ah yang lain, serta bid’ah ini bukanlah induk bagi Bid’ah  yang lain.”

Beliau -rahimahullaah- juga berkata: “Hanya saja masalah “kulliyyah” dan “juz’iyyah” (apakah Bid’ah itu sifatnya menyeluruh atau tidak-pent); hal ini terkadang jelas dan terkadang juga samar,...maka pemeriksaan terhadap hal ini diserahkan kepada ijtihad.”

Imam Asy-Syathibi -rahimahullaah- juga berkata: “Yang menyebabkan firqah-firqah (kelompok-kelompok sesat) ini menjadi firqah-firqah (sesat) adalah: karena mereka menyelisihi “Al-Firqah An-Naajiyah” (golongan yang selamat) dalam sebuah “ma’na kulli” (makna yang menyeluruh) dalam agama dan sebuah kaidah dari kaidah-kaidah syari’at, tidak dalam satu makna “juz’i” (parsial/cabang). Karena parsial dan cabang adalah sesuatu yang kecil dan tidak akan muncul darinya penyelisihan (terhadap syari’at -pent) yang menjadi penyebab berpecah-belah(nya umat) menjadi berkelompok-kelompok. Yang dapat menyebakan berpecah-belah adalah penyelisihan dalam masalah-masalah “kulliyyah” (menyeluruh). Karena masalah-masalah yang menyeluruh mencakup parsial yang tidak sedikit. Keadaan “kulliyyah” (sesuatu yang menyeluruh) biasanya tidak khusus pada satu bagian tanpa bagian yang lain, dan tidak juga satu bab tanpa bab yang lain.

Contohnya adalah masalah “tahsiin ‘aqli” (menganggap baik -dalam urusan syari'at- dengan akal semata- pent); maka penyelisihan dalam masalah tersebut akan menimbulkan perselisihan dalam masalah cabang yang tidak terhitung baik cabang ‘aqidah maupun amalan. Dan yang sejalan dengan kaidah “kuliyyah” juga: banyaknya (bid’ah) “juz-i” (cabang); karena jika mubtadi’/ahlul bid’ah banyak membuat cabang bid’ah; maka akan menjadi pertentangan terhadap banyak perkara syari’at, sebagaimana kaidah “kulliyyah” juga merupakan bentuk penentangan.” [“Al-I’tishaam” (II/379 & 389 dan III/177-178-tahqiiq Syaikh Masyhur)] 

3. Pendapat Syaikh Al-Albani -rahimahullaah-Tentang Siapa Ahlul Bid’ah 

Imam Al-Albani -rahimahullaah- berkata: “Permasalahannya tidak ada hubungannya dengan jumlah bid’ah yang dilakukan oleh seorang berilmu yang muslim; akan tetapi kaitanya dengan “ishraar” (terus menerusnya) dalam Bid’ah tersebut setelah ditegakkan hujjah oleh ahli ilmu. Tidak ada bedanya apakah bid’ah itu dalam “ushuul” (berbentuk ‘aqidah) maupun furuu’ (berbentuk amalan). Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa sebagian mereka (ulama) terjatuh dalam bid'ah dengan ijtihad yang bersih, sehingga dia diberi pahala (atas ijtihadnya).” [“Su-aalaat Ibni Abil ‘Ainain” (hlm. 180-181)].


Maka, kesimpulan dari penjelasan para ulama tentang bid’ah yang menjadikan pelakunya sebagai ahlul bid’ah adalah: Seseorang disebut ahlul bid’ah jika dia melakukan: 
1.  Bid’ah dalam masalah prinsip agama; yaitu: ‘Aqidah ; sebagaimana penjelasan Imam Ahmad & Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kaidah dalam agama ; sebagaimana penjelasan Imam Asy-Syathibi.  
2. Bid’ah dalam cabang akan tetapi banyak, sehingga sejajar dengan prinsip, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Asy-Syathibi.
3. Bid’ah prinsip maupun cabang yang pelakunya “ishraar” (terus melakukan) padahal sudah tegak hujjah, baik bid’ah itu banyak maupun sedikit -sebagaimana penjelasan Syaikh Al-Albani- (mungkin cabang yang sedikit -tapi disertai “ishraar”- beliau mensejajarkannya dengan prinsip).


4. Tentang Orang Awam  

Secara umum, orang awam bukanlah ahlul bid’ah; karena tugas mereka hanya bertanya kepada ulama dan mengikutinya; sehingga tidak dikatakan mengikuti hawa nafsu (keinginan). Tapi terkadang ada orang-orang awam yang berani berhujjah/berdalil untuk bid’ah dengan berbagai dalil -menurut mereka-; seperti:
a.      mengikuti nenek moyang, atau;
b.      berdalil dengan perkataan/perbuatan orang yang dianggapnya ulama.

Maka yang begitu bisa dikategorikan ahli bid’ah -menurut Asy-Syathibi-; karena orang semacam ini dicela oleh Allah dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِـيْ قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُوْنَ

“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami adalah sekedar pengikut jejak-jejak mereka.”.” (QS. Az-Zukhruf: 23) [Lihat: “Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwaa’” (I/119), karya Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili -hafizhahullaah-]. 

Wallaahu A’lam.

Kemudian di sini ada dua catatan:
Pertama: ada masalah-masalah agama yang rinci (rumit) di mana sisi kebenarannya samar atas sebagian orang -bahkan ulama-; sehingga orang yang menyelisihi kebenaran dalam masalah-masalah ini tidak dianggap sebagai ahlul bid’ah.
Kedua: bid’ah-bid’ah yang masyhur menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah di kalangan ulama terkadang tidak masyhur -bahkan tersamar- bagi sebagian orang awam. Maka mereka tetap dihukumi sebagai Ahlul bid’ah di dunia, adapun perhitungannya di akhirat; maka diserahkan kepada Allah. Karena tugas orang awam adalah bersungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dan bertanya kepada ahli ilmu yang terpercaya agamanya. [Lihat: “Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwaa’” (I/120-121), karya Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili -hafizhahullaah-] -dinukil dari buku “Syarah Ushulus Sunnah Imam Ahmad” (hlm. 30-37).

Tambahan:
  1. Pelaku bid’ah cabang (bukan prinsip) kalau dia “ishraar” (terus melakukan) dan sudah tegak hujjah; baik bid’ah yang dia lakukan banyak maupun sedikit: maka Syaikh Al-Albani -rahimahullaah- berpendapat bahwa dia (pelaku bid’ah cabang semacam ini) adalah: ahlul bid’ah.

Maka ini selaras dengan penjelasan para ulama tentang: Siapa yang disebut sebagai fasik, yaitu: orang yang melakukan dosa besar, dan juga orang yang terus-menerus melakukan dosa kecil.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata “Pengertian “Al-Fisqu” (kefasikan) secara syari’at adalah: melakukan dosa besar atau “ishraar” (terus menerus) melakukan dosa kecil. Jika seseorang berzina; maka dia menjadi fasik, dan jika seseorang “ishraar” (terus menerus) menghisap rokok; maka dia menjadi fasik.” [“Syarh Al-‘Aqiidah As-Safaariiniyyah” (hlm. 376)].                 

Demikian juga yang dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu ‘Abdul Lathif -rahimahullaah- dalam “Dhawaabith Al-Jarh Wat Ta’diil” (hlm. 106): “Orang yang fasik adalah: orang yang diketahui melakukan dosa besar, atau “ishraar” (terus menerus) melakukan dosa kecil.”
   
   2. Pelaku bid’ah mukaffiroh (bid’ah yang menjadikan pelakunya kafir);  maka dia bukan hanya dinamakan “bukan ahlus sunnah”, akan tetapi dia “bukan muslim”.

Syaikh Shalih bin  Fauzan Al-Fauzan -hafizhahullaah- berkata: “Orang yang melakukan bid’ah mukaffiroh; maka dia tidak termasuk kaum muslimin sama sekali, tidak cukup hanya dikatakan: dia bukan ahlus sunnah.”

Ditulis oleh : Al-Ustadz Ahmad Hendrix Eskanto (dengan beberapa penyesuaian oleh tim redaksi mukmin.net)
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini