Bahaya Mencela Penguasa





Syaikh ‘Abdus Salam bin Barjas bin Nashir Alu ‘Abdil Karim -rahimahullaah- berkata dalam kitabnya: “Mu’aamalatul Hukkaam Fii Dhau-il Kitaab Was Sunnah" (hlm. 146-152): “Telah ada dalil secara khusus yang berisi larangan dari mencela umaraa’ (para penguasa/pemimpin). Karena dengan mencela mereka; maka akan menyalakan api fitnah (keburukan) dan akan membuka pintu-pintu kejelekan kepada umat.

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan [dalam “Sunan”-nya (no. 2224)], dari Ziyad bin Kusaib Al-‘Adawi, dia berkata: Saya bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir -dia sedang berkhutbah dengan memakai pakaian tipis-. Maka Abu Bilal berkata: Lihat pemimpin kita ini! Dia memakai pakaian orang-orang fasik! Maka Abu Bakrah berkata: Diamlah! Saya mendengar Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الأَرْضِ؛ أَهَانَهُ اللهُ

“Barangsiapa yang menghinakan Sulthan (yang dijadikan pemimpin oleh) Allah di muka bumi; maka Allah akan menghinakannya.”…

Ibnu Abi ‘Ashim meriwayatkan [dalam “As-Sunnah” (II/488)]…dari Anas bin Malik, dia berkata: Para pembesar kami dari kalangan sahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-  melarang kami dengan berkata:

لاَ تَسُبُّوْا أُمَرَاءَكُمْ، وَلاَ تَغُشُّوْهُمْ، وَلاَ تُبْغِضُوْهُمْ، وَاتَّقُوْا اللهَ، وَاصْبِرُوْا؛ فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيْبٌ

“Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian! Janganlah menipu mereka! Dan janganlah membenci mereka! Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah; karena perkaranya dekat.” Sanadnya jayyid, semua perawinya terpercaya..dan ada mutaaba’ah (penguat dari jalur sahabat yang sama).

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats-Tsiqaat” [V/314-315] dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam “At-Tamhiid”  [XXI/287]…dari Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu- berkata:
كَانَ الأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ الأُمَرَاءِ
“Dahulu para pembesar Sahabat rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- melarang kami dari mencela para pemimpin.”

Dan atsar ini telah diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abul Qashim Al-Ashbahani -yang dijuluki Qiwamus Sunnah- dalam kitabnya “At-Targhiib Wat Tarhiib” [III/68] dan dalam kitabnya “Al-Hujjah Fii Bayaanil Mahajjah Wa Syarhi ‘Aqiidati Ahlis Sunnah (II/406)…dari Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-, dia berkata:

نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: أَنْ لاَ تَسُبُّوْا أُمَرَاءَكُمْ، وَلاَ تَغُشُّوْهُمْ، وَلاَ تَعْصُوْهُمْ، وَاتَّقُوْا اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ-، وَاصْبِرُوْا؛ فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيْبٌ

“Para pembesar kami dari kalangan Sahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-  melarang kami dengan berkata: “Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian! Janganlah menipu mereka! Dan janganlah durhaka kepada mereka! Bertakwalah kepada Allah -‘Azza Wa Jalla-, dan bersabarlah; karena perkaranya dekat.”…

Sebagaimana Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan atsar ini dalam kitabnya “Al-Jami’ Lisyu’abil Iimaan” [XIII/186-202]…dengan lafazh:
أَمَرَنَا أَكَابِرَنَا مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: أَنْ لاَ نَسُبَّ أُمَرَاءَنَا...
“Para pembesar kami dari kalangan Shahabat Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-  memerintahkan kami agar kami tidak mencela para pemimpin kami…”

Maka dalam atsar ini terdapat kesepakatan para pembesar shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- atas haramnya mencela dan mencaci para umara' (pemimpin/penguasa).

Dan larangan dari para Shahabat ini bukanlah karena mengagungkan diri-diri para pemimpin tersebut; akan tetapi karena besarnya tanggung jawab yang diserahkan kepada mereka secara syari’at, di mana tidak akan tegak hal ini -sesuai dengan yang diinginkan- kalau masih ada celaan dan cacian terhadap mereka; karena celaan kepada mereka akan mengantarkan kita kepada meninggalkan keta’atan kepada mereka dalam hal yang ma’ruf, dan juga akan mengantarkan kepada provokasi di dalam hati umat untuk melawan mereka; yang hal ini jelas akan membuka pintu kekacauan yang hanya mengakibatkan kejelekan yang menyebar bagi manusia. 

Sebagaimana ujung dari celaan terhadap penguasa adalah memberontak dan memerangi mereka. Dan ini jelas merupakan kerusakan yang besar dan musibah yang agung.

Mungkinkah dibayangkan -setelah mengetahui dengan jelas tentang larangan dari mencela para umara’- maka, apakah masih terbayang bahwa seorang muslim -yang keimanan telah menetap dalam hatinya dan dia juga mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah-: kemudian dia nekat untuk melakukan dosa ini atau dia diam ketika ada orang melakukan hal ini?

Tidak akan kita sangka bahwa seorang muslim pengikut salaf akan melakukan hal seperti ini, tidak mungkin hal ini muncul darinya. Karena dalil-dalil syari’at dan apa yang para sahabat rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berada di atasnya: adalah lebih agung di dalam hatinya dibandingkan semangat dan emosi -yang pada hakikatnya itu adalah wahyu dari syaithan dan merupakan semburan kebid’ahan; di mana tidak akan tunduk kepada hal-hal tersebut (wahyu setan dan kebid’ahan) kecuali Ahlul Ahwa (Ahlul Bid’ah) yang tidak ada pengagungan terhadap dalil syari’at di dalam dada mereka, bahkan seolah keadaan mereka mengatakan: Sungguh, dalil-dalil dalam masalah ini tidak mencukupi.

...كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُوْلُوْنَ إِلاَّ كَذِبًا

“…Alangkah jelek kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan kebohongan belaka.” (QS. Al-Kahfi: 5).”

Diterjemahkan  dan diberi judul oleh:
Al-Ustadz Ahmad Hendrix


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini