Sumber Rujukan Penafsiran Al-Qur'an (Bagian 3)






Makna-makna yang menjadi konsekuensi dari kata-kata, baik secara syari’at atau bahasa, sesuai konteks kalimat, dapat pula menjadi landasan dalam tafsir Al-Quran. Hal ini berdasarkan firman Allah ~subhanahu wa ta’ala~:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَٮٰكَٱللَّهُ‌ۚ(١٠٥)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”(An-Nisaa:105)
Juga firman Allah ~subhanahu wa ta’ala~
إِنَّا جَعَلۡنَـٰهُ قُرۡءَٲنًا عَرَبِيًّ۬ا لَّعَلَّڪُمۡ تَعۡقِلُونَ (۳)
Artinya: “Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memahaminya.” (Az-Zukhruf: 3)
Juga firman Allah ~subhanahu wa ta’ala~
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡ‌(٤)ۖ
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi perjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4)
Apabila makna secara syariat dan makna secara bahasa berbeda, maka yang diambil adalah makna secara syariat.  Karena Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa. Kecuali jika terdapat dalil yang lebih menguatkan makna secara bahasa, maka yang dipakai adalah makna secara bahasa tersebut.
Contoh ayat yang mengandung perbedaan makna secara syariat dan makna secara bahasa (lughawi), kemudian yang didahulukan adalah makna secara syariat; adalah firman Allah ~subhanahu wa ta’ala~ tentang orang-orang munafik:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ۬ مِّنۡہُم مَّاتَ أَبَدً۬ ا (٨٤)
Artinya: “Dan jangan engkau sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka.” (At-Taubah: 84)
Sesungguhnya makna shalat secara bahasa adalah doa. Dan secara syariat, makna shalat di sini adalah berdiri di hadapan orang yang meninggal dunia untuk mendoakannya dengan cara yang khusus. Dalam hal ini didahulukan makna syariat, karena merupakan maksud dari Dzat yang mengajak bicara dan dipahami oleh mukhathab. Adapun larangan mendoakan mereka secara mutlak adalah berdasarkan dalil yang lainnya.
Contoh ayat yang di dalamnya mengandung perbedaan makna syar’i dan makna lughawi kemudian didahulukan makna lughawi dengan dalil, adalah firman Allah ~subhanahu wa ta’ala~:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ صَدَقَةً۬ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيہِم بِہَا وَصَلِّ عَلَيۡهِم(١٠٤)
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu engkau membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.” (At-Taubah: 103).
Yang dimaksud dengan shalat di sini adalah doa, dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: “Dahulu apabila Nabi ~shallallahu ‘alaihi wasallam~ dikirimi shadaqah dari suatu kaum, beliau mendo’akan mereka. Maka bapakku mendatangi beliau membawa shadaqah, beliau berdo’a: “Ya Allah, berilah keselamatan atas keluarga Abu Aufa’.”
Dan banyak contoh ayat yang terkumpul padanya makna syar’i sekaligus makna lughawi. Seperti kata As-Sama’ (langit), Al-Ardhu (bumi), Ash-Shidqu (kejujuran), Al-Kadzib (kedustaan), Al-Hajar (batu), dan Al-Insan (manusia).

Disadur dari karya Syaikh Shalih Al-Utsaimin, “Kaedah Menafsirkan Al-Qur’an” (dengan beberapa penyesuaian bahasa tanpa merubah makna).


Artikel mukmin.net
                    
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini