Sumber Rujukan Penafsiran Al-Quran (Bagian 2)





 
·        Ketiga: perkataan sahabat ~radhiyallahu ‘anhum~ terutama yang memiliki ilmu dan perhatian tentang tafsir. Karena Al-Quran turun dengan bahasa mereka dan pada zaman mereka, dan merekalah generasi –setelah para nabi- yang paling jujur dalam mencari al-haq (kebenaran), paling selamat dari hawa nafsu, dan paling bersih dari penyimpangan yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan taufiq dari Allah ~subhanahu wa ta’ala~ menuju kebenaran.
Banyak sekali contoh penafsiran Al-Quran dengan ucapan shahabat.  Di antaranya adalah firman Allah ~subhanahu wa ta’ala~:
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ(٤۳)
      Artinya: “Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan.” (An-Nisaa’: 43)
Disebutkan dalam riwayat yang shahih Ibnu ‘Abbas ~radhiyallahu ‘anhuma~ bahwa beliau menafsirkan al-mulamasah (menyentuh) dengan “jima` (bersetubuh).”
·        Keempat: Ucapan para tabi’in yang memiliki perhatian untuk mengambil tafsir dari para shahabat ~radhiyallahu ‘anhum~. Karena tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para shahabat dan paling selamat dari hawa nafsu daripada generasi sesudahnya. Juga karena bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang lebih dekat kepada kebenaran dalam memahami Al-Quran daripada generasi sesudahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Apabila mereka (tabi’in) bersepakat atas sesuatu maka tidak diragukan akan keberadaannya sebagai hujjah. Namun jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka tidak bisa menjadi hujjah atas sebagian yang lainnya dan tidak pula bisa menjadi hujjah atas orang-orang setelah mereka. Hal tersebut dikembalikan kepada bahasa Al-Quran, atau As-Sunnah, atau keumuman Bahasa Arab, atau perkataan shahabat tentang hal itu.”
Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang menyimpang dari madzhab para sahabat dan tabi’in serta tafsir mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal tersebut, bahkan menjadi mubtadi’ (ahli bid’ah). Jika dia adalah orang yang berijtihad, maka diampuni kesalahan-kesalahannya.”
Kemudian beliau ~rahimahullah~ berkata: “Maka barangsiapa menyelisihi perkataan mereka dan menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan tafsir mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal dalil dan madlul (makna) sekaligus.”


Disadur dari karya Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin, “Kaedah Menafsirkan Al-Qur’an”.

Artikel mukmin.net

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini