Menyoal ''Kemanusian" Barat
Bukan hal yang baru ketika Barat dengan
perasaan percaya dirinya yang berlebihan sebagai manusia, menghembuskan badai keraguan dan kerancuan
mengenai apa yang kodrati. Kita kini, kembali dihadapi pada persoalan yang
betapa memperihatinkan, persoalan legalisasi LGBT, yang tak perlu kita syak
lagi, bahwa Barat adalah yang dengan bangga menyuarakannya.
Barat, memang sering merasa, dan
kemudian kelihatan hebat, saat mereka menciptakan berbagai studi keilmuan untuk
melegitimasi hasrat. Kemudian menciptakan mekanisme pengkondisian pola pikir
insan terpelajar untuk meyakini tentang apa yang telah mereka ciptakan sebagai
ilmu adalah objektif dalam arti bebas nilai (free value). Persoalan LGBT,
termasuk ke dalam propaganda Barat yang masuk melalui dalih ilmu antropologi
yang dianggap bebas nilai itu. Oleh karenanya, meyoal persoalan ini, penulis
hendak lebih jauh melihat dari sisi cara
berfikir atau pendangan dunia, yang menjadi sebab wujudnya
kerancuan-kerancuan hasil reproduksi keilmuan Barat.
Seorang dosen, pernah dengan semangatnya
mengajarkan atau mungkin lebih tepatnya mempropagandakan, bahwa ilmu
antropologi telah melahirkan secara objektif perspektif perbedaan antara gender
dan sex, perspektif ini menjadi palu bagi para pejuang feminisme dan emansipasi
wanita untuk melegitimasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan secara
mutlak dari sisi peranan, tanggungjawab, dan hak. Hak pembagian harta warisan
dalam Al-Quran pun yang dianggap tidak adil digugat. Padahal Islam mengajarkan
keadilan peran, tanggungjawab dan hak, bukan kesetaraan. Adil tentu berbeda
dengan setara. Dan gender serta sex semestinya dibedakan tanpa mengingkari
kenyataan bahwa sex mempengaruhi gender, artinya, keduanya mesti dilihat dalam
hubungan yang kausal. Namun Kenyataannya tidak demikian, para penyambung lidah
Barat menjadikan postulat kemanusiaan yang diciptakan para antropolog itu
seperti rukun iman. Padahal, ilmu antropologi adalah sarat nilai, value
judgment. Dan memang setiap ilmu sejatinya adalah sarat nilai, paling tidak
dalam dua kategori pandangan dunia (world view) ; humansentris dan teosentris.
Pemujaan Barat terhadap pandangan yang
humansenteris menguat sejak bergulirnya renaissance dan aufklarung (pasca abad
pertengahan) yang lahir sebagai respon traumatik atas otoriterisme alam Kristen
(Christendom) dengan teokrasi gerejanya. Bergulirnya renaissance,
mendeklarasikan supremasi rasionalitas dengan berbagai klaim kebenaran
universal yang ini kemudian dikenal sebagai karakteristik modernisme. Tetapi
kini, Barat yang mungkin dia lelah dengan modernismenya, pandangannya tentang
kemanusiaan tampak beralih dari modernimse ke posmodernisme yang menolak segala
klaim universal kebenaran dengan berbagai varian pemikirannya. Namun, apakah
modern atau posmodern, keduanya dipelopori Barat dengan pandangan dunia yang
humansentris.
Inheren dalam pandangan dunia yang humansentris ini adalah penempatan akal
sebagai konsideran tertinggi, akal demikian harus dilepaskan liar untuk
merajarela ke segala lapangan kehidupan tanpa `sabuk pengaman`, akal harus
mengkritisi segalanya termasuk hal yang kodrati. Berfikir tanpa `sabuk pengaman` (meminjam
istilah Gahral Adian) ini yang mengantarkan manusia kepada apa yang sebenarnya
palsu hingga gagal menyerap wahyu. Kemanusiaan dengan aktivitas berfikir dan
kontemplasi memang tak dapat dipisahkan. namun aktivitas berfikir mestinya
perlu dilakukan disertai dengan `sabuk pengaman`. Karena Aktifitas berfikir
dengan menggunakan `sabuk pengaman` merupakan konsekeunsi logis dari
kemanusiaan. Syarat mutlak berfikir sebagai faktor internal untuk mencapai kebenaran ialah, (1)
mencurahkan segala kemampuan, dan (2) menyadari keterbatasan. Kita tidak dapat
menggapai kebenaran bila terlalu yakin degan kemampuan, namun lupa tentang keterbatasan.
Mengingkari keterbatasan sama artinya dengan mengingkari kemanusiaan.
Bila kita merujuk pada kenyataan, kita
akan menemukan contoh di mana selalu ada konsekuensi negatif
kala manusia mengingkari prinsip-prinsip kemanusiaannya. Terkait dengan
apa yang sedang ramai dibicarakan mengenai legalisasi perkawinan sejenis di
Amerika Serikat, sebuah kisah `insipiratif` di sini perlu diceritakan. Adalah
Michael Focault sebagai contoh, seorang filsuf anti-kodrati yang lahir dari
rahim pemikiran posmodernisme. Ia dikenal dengan pemikirannya yang mengobrak-abrik
kategori kebenaran. Basis pemikirannya jelas humansetris, yang menjadikan akal
pikiran sebagai konsideran tertinggi, daya jelajah akal kemudian tak dapat
dibatasi dan akhirnya menjadi destruktif terhadap apa saja yang kodrati. Saat
kita meyakini bahwa seorang lelaki merupakan pasangan bagi perempuan adalah
kodrat, maka Focault menginterupsi itu, ia mendobrak realitas kodrati tersebut,
mencoba menghancurkan konsensus universal umat manusia. Maka homoseksual
baginya adalah kenyataan logis dan normal yang layak untuk diaktualisasikan.
Hebatnya, ia bukan cuma meyakini prinsip ini secara teoritis, namun juga
mengekspresikannya dalam langkah praktis. Ia benar-benar menjadi homoseksual
dalam kenyataan yang memaksanya kemudian untuk menerima Ultimatum virus AIDS,
Foucaultpun tak bisa hidup lebih lama. Ya, Focault memang seorang pemberani,
namun sayang, Sang Pencipta dan Yang Maha Kuasa tidak bersamanya.
Bila kita beranalogi tentang prahara
yang menimpa kehidupan manusia pada hari ini dengan apa yang diderita Focault,
kita mestinya menyadari, bahwa segala kerusakan yang terjadi hari ini di dunia,
mulai dari bencana kemiskinan, penurunan harga nyawa manusia yang meningkatkan
angka pembunuhan, reaksi alam atas kerakusan manusia yang menyebabkan banyak bencana
alam yang merenggut nyawa, perilaku koruptif yang kian membentuk piramida
strata sosial di mana-mana, dan kerusakan lain yang terus mengisi dalam sisa
umur dunia. Segala kerusakan tersebut tidak lain adalah ekses dari berpalingnya
manusia dari `suara langit`. Manusia mengganti agama Tuhan dengan agama
keangkuhan. menjual keaslian dengan murah dan membeli pelbagai kepalsuan dengan
harga yang begitu mahal. Keseimbangan
dunia, termasuk di dalamnya kehidupan umat manusia menjadi terganggu akibat
ulah manusia yang merasa berdaulat atas segalanya. Sadarilah, bumi kita ini
berada dalam satu galaksi yang luasnya, dan jagat raya ini, terdiri dari
sekitar 170 milyar galaksi, dan ada sekitar 160 milyar planet dalam tiap
galaksi, tidak perlu kita merasa cukup besar diri. Memang, Allah memberikan
makhluk super kecil ini dengan hasrat yang sangat besar sekali, inilah sebagai
batu uji, barang siapa yang gagal mengatasinya akan menjadi manusia yang gagal
paham dan membelakangi segala yang ilahi dan kodrati.
Dalam Al-Quran, ketika Allah membahas
tentang manusia, Allah selalu menyertainya dengan karakter bawaan manusia
sebagai;
يريد
الله أن يخفف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا
“dan manusia dijadikan bersifat lemah”
(Q.S. Annisa ; 28),
ويدع
الإنسان بالشر دعاءه بالخير وكان الإنسان عجولا
“…dan adalah manusia bersifat
tergesa-gesa” (Al-Isra` : 11),
خلق
الإنسان من نطفة فإذا هو خصيم مبين
“Dia telah menciptakan manusia dari
mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata” (Q.S. An-Nahl : 4), “
وإذا
مس الإنسان الضر دعانا لجنبه أو قاعدا أو قآئما فلما كشفنا عنه ضره مر كأن لم
يدعنا إلى ضر مسه كذلك زين للمسرفين ما كانوا يعملون
begitulah orang-orang yang melampaui
batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus : 12),
إنه
كان ظلوما جهولا
“…sesungguhnya manusia itu amat zalim
dan amat bodoh”. (Q.S al-Ahzab : 72),
وما
يتبع أكثرهم إلا ظنا إن الظن لا يغني من الحق شيئا إن الله عليم بما يفعلون
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti
kecuali persangkaan saja, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran”. (Q.S. Yunus : 36).
Itulah di antara sekian banyak sifat
buruk manusia yang diinformasikan oleh penciptanya sendiri di dalam Al-Quran.
manusia adalah lemah, tergesa-gesa,
pembangkang, melampaui batas, zalim dan bodoh, serta suka mengikuti persangkaan
belaka. Cara pandang mengenai kemanusiaan yang selama ini mulai berat
dipengaruhi oleh sekularisme, liberalisme, dan relativisme Barat, sudah harus
diganti. Bukankah Allah telah berfirman :
قلنا
اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم مني هدى فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Turunlah kamu semuanya dari surga itu!
kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka…” (Q.S al-Baqarah :
38).
Penulis: Nauval Pally Taran
Artikel ini telah dimuat di
serambinews.com, dan telah mengalami beberapa perubahan.
Post A Comment
No comments :