Adakah Isi dan Kulit dalam Ajaran Islam?
Islam adalah agama yang bagian-bagiannya saling
melengkapi. Jalan Allah yang ikatan-ikatannya tidak terpisahkan satu dengan
yang lainnya. Kaum Muslimin tidak boleh mengikuti orang-orang Yahudi yang mengimani
sebagian Al-kitab dan mengingkari sebagian lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian
Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan
bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” [Al-Baqarah : 85]
Termasuk bid’ah yang merebak pada zaman ini, yaitu
anggapan sebagian orang yang membagi Islam menjadi “kulit dan isi”, atau
“kuliyat dan juz-iyyat”, atau “bentuk dan isi”, atau “ushul dan furu”, atau
“bagian luar dan ruh”. Lalu mereka menyepelekan bagian agama yang dianggapnya
sebagai kulit atau juz’iyyat, atau bentuk semata.
Memang sebagian ulama ada yang menggunakan istilah
ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam menjelaskan ajaran Islam, tetapi mereka
tidak bermaksud meremehkan furu’, apalagi meninggalkannya. Tetapi istilah itu
untuk menunjukkan nilai pentingnya. Karena semua bagian agama Islam ini
penting, namun nilai pentingnya tidaklah satu derajat
Adapun orang-orang yang memiliki anggapan sebagaimana
di atas, sebagian besar mereka kemudian tidak menaruh perhatian terhadap
syi’ar-syi’ar yang lahiriyah, yang mereka anggap sebagai kulit. Bahkan menuduh
orang yang berpegang dengannyan sebagai orang yang menyibukkan diri dengan
perkara cabang, dan orang yang mendakwahkannya dianggap mengobarkan
perselisihan dan perpecahan. Sehingga mereka mementahkan berbagai masalah yang
dikaji secara ilmiah dengan anggapan, bahwa itu merupakan masalah cabang dan
diperselisihkan oleh umat.
Anggapan ini tentu saja tidak diterima oleh agama yang
mulia ini. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama : Ayat-ayat al-Quran Dengan Tegas Dan Jelas
Memerintahkan Agar Kaum Muslimin Berpegang Dengan Islam Secara Total.
Di antaranya Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam keseluruhan” [Al-Baqarah : 208]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata pada tafsir ayat
ini : “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman
kepada-Nya, yang mempercayai Rasul-Nya, agar mereka memegangi seluruh
ikatan-ikatan dan syari’at-syari’at Islam, dan mengamalkan seluruh
perintah-perintahnya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangannya semampu
mereka”
Setelah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman
agar masuk ke dalam Islam secara total. Dia memperingatkan manusia agar tidak
mengikuti langkah-langkah setan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
“Dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” [Al-Baqarah : 208]
Ini menunjukkan bahwa hanya ada dua jalan saja, yaitu
masuk ke dalam Islam secara total, atau mengikuti jalan-jalan setan yang
memerintahkan untuk memisah-misahkan syari’at-syari’at Allah dan meremehkan
sebagiannya.
Kedua : Hadits-Hadits Menunjukkan Bahwa
Perkara-Perkara Yang Mereka Anggap Sebagai Cabang Atau Kulit Itu Memiliki
Hubungan Yang Kuat Dengan Pahala Yang Besar, Kedudukan Yang Mulia, Dan
Kenikmatan Abadi.
Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Jika imam berkata “ghairil magh-zhubi ‘alaihim
walazh-zhallin”, maka katakanlah “amin”, karena sesungguhnya barangsiapa
perkataannya bertepatan perkataan para malaikat, diampuni dosanya yang telah
lalu” [HR Bukhari no 782, Muslim no. 410, dari Abu Hurairah]
Demikian juga hadits-hadits menjelaskan bahwa
perkara-perkara yang mereka anggap cabang itu merupakan tonggak kemuliaan dan
tetapnya agama ini memperoleh kemenangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
“Agama ini selalu nampak nyata (menang) selama
orang-orang (Islam) menyegerakan berbuka, karena sesungguhnya orang-orang
Yahudi dan Nashara mengakhirkan (berbuka)” [HR Abu Dawud no. 2353, dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak hanya
mementingkan perkara-perkara besar, kemudian tersibukkan dari perkara-perkara
yang mereka anggap perkara kecil.
“Dari Aisyah –semoga Allah meridhainya-, yaitu isteri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memberitakan bahwa beliau membeli
bantal duduk yang padanya terdapat gambar-gambarnya (makhluk bernyawa, -pent).
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihatnya, beliau
berdiri di depan pintu, tidak masuk. ‘Aisyah melihat ketidaksukaan pada wajah
Rasulullah. ‘Aisyah berkata : “Wahai Rasulullah, aku bertaubat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dosa apakah yang telah aku lakukan?” Beliau bersabda : “Apa
pentingnya bantal duduk ini?” Aisyah menjawab : “Aku membelinya agar Anda duduk
padanya dan menggunakannya sebagai bantal” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan disiksa pada hari
Kiamat. Dan akan dikatakan kepada mereka : ‘hidupkan apa yang telah ciptakan”,
dan beliau bersabda : “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat
gambar-gambar (patung-patung) tidak akan dimasuki oleh para malaikat” [HR
Bukhari no. 5957]
Ketiga : Fatwa-Fatwa Ulama Menjelaskan Tentang
Kebatilan Pembagian Tersebut
Antara lain fatwa Syaikh ‘Izz bin Abdis Salam
rahimahullah, beliau berkata : “Tidak boleh mengistilahkan syari’at dengan
“kulit”, karena di dalam syari’at itu terdapat banyak manfaat dan kebaikan.
Bagaimana perintah ketaatan dan keimanan merupakan “kulit”? Sesungguhnya ilmu
yang disebut dengan “hakikat” adalah satu bagian dari ilmu syari’at. Dan tidak
menggunakan istilah-istilah ini kecuali orang yang dungu, celaka dan kurang
ajar. Seandainya dikatakan kepada salah seorang dari mereka : “Sesungguhnya
perkataan syaikh (guru) mu itu “kulit”, pastilah dia mengingkarinya dengan
keras. Namun dia menyebut “kulit” terhadap syari’at! Sedangkan syari’at itu
hanyalah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Maka orang jahil (bodoh) tersebut
perlu dihukum dengan hukuman yang pantas dengan dosanya ini” [Fatawa Izz bin
Abdis Salam, halaman 71-72]
Dengan ini semua jelaslah bahwa wajib memegangi Islam
secara total, yakni mencakup kehidupan individu dan masyarakat. Syari’at Islam
tidak meninggalkan perkara-perkara kecil, apalagi yang besar ; semua
dijelaskan. Dengan demikian, Islam merupakan bangunan yang tinggi dan sempurna,
dengan fondasi yang kuat dan kokoh.
Kemudian dari pembagian yang tidak benar ini, yaitu
beranggapan agama itu terdiri dari kulit dan isi, sebagian tokoh-tokoh kelompok
Islam, seperti Syaikh Hasan Al-Bana, membangun kaidah lemah yang membolehkan
terjadinya perpecahan umat. Yaitu kaidah :
“Kita saling menolong dalam perkara yang kita
sepakati, dan saling toleransi dalam perkara yang kita berselisih padanya”.
Kemudian kaidah ini menjadi ketetapan pasti yang
dibacakan kepada para pengikutnya. Dengan kaidah ini, mereka menentang setiap
dakwah yang mengajak untuk bersatu di atas kalimat yang haq dan menentang
penjelasan menurut Sunnah Nabi, tentang sikap terhadap para ahli bid’ah yang
mengikuti hawa nafsu.
Kaidah ini pertama kali dibuat oleh Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha rahimahullah, kemudian beliau memandangnya sebagai kaidah yang
rusak, sehingga beliau berlepas diri darinya. Namun Syaikh Hasan Al-Bana
mengambilnya dan mendengungkannya. Dan kaidah yang rusak ini juga digunakan
oleh Ikhwanul Muslimin untuk melakukan pendekatan dengan Syi’ah Rafidhah!
Seandainya kaidah ini diterapkan, pasti ajaran Islam
akan rontok satu persatu, karena :
1). Perselisihan antar umat Islam terjadi sampai dalam
perkara aqidah dan prinsip-prinsip. Oleh karena inilah umat berpecah-belah
menjadi banyak kelompok. Maka orang yang memberikan toleransi perselisihan
seperti ini, berarti dia membenarkan apa yang dilarang oleh Allah.
2). Kaidah ini tidak memiliki landasan dari Al-Kitab,
As-Sunnah, dan pemahaman Salafush Shalih. Bahkan manhaj Salaf bertentangan
dengan kaidah rusak ini.
3). Seandainya kita praktekkan kaidah ini, pasti akan
terbuka kerusakan yang sangat besar. Karena berarti kita memberikan toleransi
kepada orang-orang yang menyerukan pemahaman wihdatul wujud [1], pemahaman
Khawarij, nikah mut’ah, thawaf di kuburan, tawasul dengan orang-orang yang
telah mati, mengingkari sifat-sifat Allah, pemahaman Jabariyah, dan
kesesatan-kesesatan lainnya.
4). Hasil kaidah ini adalah kebalikan dari kemauan
pembuatnya. Kemauan pembuatnya ialah untuk menghentikan perselisihan antar umat
Islam. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa kaidah ini menjadi sebab bertambahnya
perselisihan dan perpecahan. Oleh karena itulah para ulama pada zaman ini
memfatwakan batilnya kaidah ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Dr. Hamd
‘Utsman –haizhahullah- di dalam kitabnya, Zajrul Mutahawun bi Dharari Qaidah
Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, halaman 123-133.
Sesungguhnya kebaikan itu hanyalah dengan kembali
kepada agama yang mulia ini dalam segala bidangnya sesuai dengan kemampuan.
Wallahul Musta’an.
Penulis:
As-Syaikh Salim
Ied al-Hilali
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_________
Footnote
[1]. Suatu pemahaman rusak yang dikafirkan oleh para
ulama. Yaitu anggapan bahwa wujud hanyalah satu ; makhluk bersatu dengan sang
Khaliq.
Labels
Aqidah
Post A Comment
No comments :