Menalar Kematian




Belum lama ini, seorang teman bercerita tentang ayahnya yang meninggal pada usia yang relativ tidak cukup tua, tanpa didahului oleh sebab-sebab yang lazim, semisal sakit yang parah atau kecelakaan yang menimpa. Cerita serupa barangkali juga sering kita temukan pada keseharian kita. Suatu realitas yang betapa tak dapat dipungkiri, bahwa sebab kematian memang tak semata bersandar pada standar biologis tertentu. Lagipun, bila kematian hanyalah dimaknai sebagai suatu akibat dari standar-standar biologis, kita nanti harusnya tak usah khawatir lagi perihal mati,  para ilmuwan akan menghidupkan kita kembali, di suatu zaman yang mana keabadian akan menjadi komoditi jasa termahal dalam pasar transaksi, di mana orang-orang tinggal membelinya melalui praktik (bisnis) keabadian. Namun adakah ini niscaya? Kita yang sebenarnya pada kesadaran terdalam sadar akan terbatasan, tentu tahu jawabannya.

Demikian memang, kematian berbicara tentang batas-batas kita sebagai manusia, sekaligus tentang manifestasi kuasa tertinggi dari pemilik semesta. Kendati demikian, masih saja ada manusia yang tercerabut dari akar keberimanannya hingga enggan percaya pada kematian sebagai suatu proses mansukhnya ruh dari manusia oleh yang ilahi.

Menyoal hakikat kematian, dalam kitab-Nya Allah subhanahu wa ta`ala menginformasikan banyak hal tentang perkara yang betapa ditakutkan ini. Allah berfirman:
أينما تكونوا يدرككم الموت ولو كنتم في بروج مشيدة
Artinya :
"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada dalam benteng  yang tinggi lagi kokoh (An-Nisa: 78)
Dalam ayat yang lain, ketika menginformasikan tentang kematian, Allah menghadirkan satu frasa yang lebih tegas, suatu tantangan bagi manusia untuk mengatasi sakratul maut, sebagaimana firman-Nya berikut:


"Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan". Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). Dan kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau". [Al Qiyamah: 26-30]

Bila pada ayat di atas Allah menantang manusia untuk mengatasi sakratul-maut, pada firmannya yang lain, lebih jauh Allah menantang manusia untuk mengembalikan nyawa orang yang telah mati, menghidupkan kembali dirinya dari kebinasaan, Allah berfirman:

 فلولا إن كنتم غير مدينين ونحن أقرب إليه منكم ولكن لا تبصرون وأنتم حينئذ تنظرون فلولا إذا بلغت الحلقوم
ترجعونها إن كنتم صادقين

Artinya: “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan. padahal kamu ketika itu melihat. dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” [Al Waqiah: 83-87]

Firman-firman Allah di atas, dan juga masih banyak dalil yang lainnya dalam al-Quran dan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, jelas adalah penegasan tentang kematian sebagai kuasa mutlak Allah, yang melampaui batas-batas rasionalitas dan kapasitas berkehendak manusia. Dan memang, bagi yang insaf, kematian memang jelas tak sesederhana batas-batas diri.

Sampai di sini, ada hal lain yang betapa penting pula untuk diinsafi. Bahwa kematian yang melampaui batas rasionalitas manusia itu, mengajarkan kepada kita tentang kebenaran aspek kegaiban (metafisik). Dan inilah inti yang membentuk keimanan dan ketakwaan dalam Islam. Maka Al-Quran, ketika menegaskan kehadirannya sebagai hudan (petunjuk), menetapkan kegaiban sebagai aspek inti yang membentuk keimanan, sehingga cahaya petunjuk dalam Al-Quran, tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman kepada perkara yang gaib. Allah berfirman:

الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين الم

Artinya: “Alif laam miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagaian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” [Al Baqarah: 1-3]


Oleh karenanya, tiada ketakwaan bila mungkir pada kegaiban. Adapun kematian, sungguh telah mengajarkan kita tentang realitas kegaiban. Beginilah kita sebagai seorang Islam, mencoba paham dan insaf, tentang hakikat kematian, yang kegaiban. 


Penulis :

Nauval Pally Taran






Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

1 comment :


[akhlaq dan nasehat][bleft]
[Fiqih][bleft]

Masjidil Haram Terkini

Masjid Nabawi Terkini